
Jakarta – Ancaman industri perasuransian dengan banyaknya kasus yang bergulir mulai gagal bayar, pola manajemen yang buruk, adanya temuan tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan asuransi besar seperti Jiwasraya, Asabri, Kresna, AJB Bumiputera 1912, dan lain – lain harus menjadi konsentrasi Pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikarenakan sangat merugikan pemegang polis.
“Sesungguhnya yang salah itu regulasinya atau sumber daya manusianya. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah beserta legislatif saat nanti melakukan fit and proper test calon petinggi OJK agar kejadian yang sudah nyata terjadi tidak merugikan industri asuransi demi melindungi kepentingan investor dan pemegang polis”, ungkap Ketua Komite Tetap Bidang Konstruksi dan Infrastruktur Kadin Indonesia, Diding S Anwar melalui pesan tertulis Senin (9/8/2021).
Diding mengungkapkan, industri asuransi tentunya sudah melewati beragam penilaian mulai dari pembentukan perusahaan hingga penyusunan manajemen perusahaan yang melewati uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test).
“Perlu ruang perbaikan di OJK baik terhadap pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB), agar lebih baik seperti pengawasan industri perbankan”, ungkapnya.
lanjut Diding, kasus yang dialami perusahaan asuransi ini sangat merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi terlebih ancaman ketidakpercayaan masyarakat bisa berpotensi industri perasuransian tidak dilirik dan menurun daya beli nya.
“OJK dibentuk untuk dapat melakukan pengaturan, pengawasan dan pembinaan secara terintegrasi terhadap industri jasa keuangan agar dapat meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan, sehingga potensi masalah sistemik dapat dihindari”, imbuhnya.
Berkaca permasalahan gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai dapat menjadi momentum melakukan reformasi industri asuransi nasional guna mengembalikan kepercayaan masyarakat. Seperti halnya kasus yang sedang dialami Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912.
“Regulator dapat mempertimbangkan untuk menggunakan senjata untuk pembenahan dan penyelamatan AJB Bumiputera 1912 saat ini wajib dimulai dari legal aspek berdasarkan pedoman ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan dapat dipertanggung jawabkan (de jure), dalam suasana de facto kritis seperti sekarang ini.
OJK dalam konteks AJB Bumiputera segera membentuk Pengelola Statuter (PS) karena kondisi Bumiputera yang mendesak untuk menentukan kekosongan Direksi & Komisaris AJB Bumiputera 1912.
Penanganan AJB Bumiputera 1912 harus cepat dan mendesak serta tidak dapat lagi ditunda. Jangan terlalu lama, jutaan masyarakat pempol dan pegawai, agen serta stakeholder lainnya dalam suasana ketidakpastian .
“Jangan menjadi bom waktu yang tidak tau kapan meledak, sebagai regulator OJK harus tegas. Kewenangan OJK dapat mencabut ijin atau sehatkan. Apabila kewenangan yang dimiliki tidak diterapkan, maka sama dengan penghindaran tanggungjawab, pembiaran”, pungkasnya.
.