Oleh: Makmun Syadullah
Dalam sidang paripurna, DPR mengesahkan APBN 2020 dengan anggaran belanja sebesar Rp 2.540,4 triliun. Selain itu, dalam APBN 2020 tersebut ditetapkan sejumlah asumsi makro. Salah satunya adalah asumsi harga minyak yang ditetapkan untuk Indonesian Crude Price (ICP) sebesar US$ 63 barel.
Disamping itu, lifting minyak bumi ditetapkan 755 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi sebesar 1,191 juta barel setara minyak per hari. Dengan asumsi dasar ekonomi makro yang telah disepakati, maka pendapatan negara dalam APBN 2020 disapakati sebesar Rp 2.232,2 triliun.
Akibat COVID-19 harga minyak dunia mencatat sejarah baru. Harga minyak untuk kontak Mei jatuh dikarenakan pengiriman banyak dibekukan akibat lockdown sebagai dampak dari pengendalian virus Corona. Kontrak berjangka untuk harga minyak mentah Amerika Serikat turun dan berubah negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Mengutip CNBC, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei turun lebih dari 100 persen menjadi menetap di negatif USD 37,63 per barel. Runtuhnya harga minyak ke level negatif ini tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya di pasar minyak. Harga kontrak berjangka yang turun hingga negatif ini untuk pengiriman Mei, sedangkan untuk kontrak bulan berikutnya masih diperdagangkan di atas USD 20 per barel.
Sejalan dengan turunnya harga dunia, ICP juga mengalami penurunan yang cukup tajam. Per Maret, ICP anjlok hampir 40%. Kementerian ESDM menetapkan harga ICP pada Maret 2020 sebesar US$ 34,23 per barel, turun 39,5% atau US$ 22,38 dari ICP bulan Februari sebesar US$ 56,61 per barel. Sedangkan apabila dibandingkan dengan asumsi ICP dalam APBN, harga ICP sudah turun sebesar 45,67%.
Dampak ke APBN
Sampai kuartal II tahun ini harga minyak dunia diperkirakan akan berada di bawah US$ 20 per barel. Setidaknya hal ini dsebabkan permintaan minyak akan menurun di tengah pandemi corona.
Anjloknya permintaan disebabkan bisnis yang terdampak pandemi corona. Analis memperkirakan, permintaan minyak turun 2,8 juta barel per hari tahun ini, atau penurunan selama setahun terbesar dalam hampir 40 tahun.
Faktor lain yang membuat harga minyak turun adalah masih berlanjutnya perseteruan antara Arab Saudi dan Rusia terkait produksi minyak. Arab bahkan berencana menambah pasokan hingga menyentuh rekor 12,3 juta barel per hari. Begitu juga dengan Rusia.
Saat ini, Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan Rusia, atau OPEC+ memang mengurangi produksi minyak. Kesepakatan tersebut berakhir April, sehingga setelahnya mereka dapat memilih untuk menaikkan produksi.
Turunnya harga minyak dunia akan berdampak pada penerimaan negara.
Berdasarkan simulasi sensitivitas APBN 2020, setiap penurunan harga minyak 1 dolar AS, maka terdapat potensi turunnya penerimaan negara sebesar Rp4-5 triliun. Dengan kondisi saat ini yang harga ICP menyentuh pada kisaran US$ 30 per barel, maka terdapat potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 85-130 triliun.
Bahkan diperkirakan apabila kemerosotan harga minyak dunia yang terjadi saat ini bisa terus berlanjut hingga penghujung 2020, penerimaan negara dari sektor migas diprediksi akan turun hingga mencapai lebih dari 50 persen.
Turunnya penerimaan negara akan semakin besar apabila volume lifting juga ikut turun, dan apabila harga gas juga ikut tertekan, maka penerimaan negara dari migas bisa turun lebih dari 50 persen dibandingkan target APBN 2020.
Sebagai konsekuensi turunnya penerimaan negara, maka diperkirakan defisit APBN juga akan semakin lebar. Kita semua berharap agar pemerintah tidak perlu menambah utang, karena defisit APBN telah dilebarkan menjadi 5,07%.
Meskipun utang Indonesia masih dalam batas aman, namun ratio perpajakan masih kecil. Akibatnya, apabila negara menambah defisit lagi, penerimaan negara hanya akan habis untuk membayar utang beserta bunganya.
Dalam situasi pandemi COVID-19, sepertinya tidak ada pilihan yang bagi pemerintah. Tidak ada celah untuk melakukan diversifikasi penerimaan negara, karena semua sektor terimbas dampak COVID-19.
Jalan tengah yang dapat ditempuh pemerintah, selain merelokasi anggaran yang kini tengah dilakukan, pemerintah juga melakukan efisiensi pengeluaran antara lain dengan cara menyisir anggaran-anggaran dengan memprioritaskan pada belanja di bidang kesehatan dalam rangka memaksimalkan penanganan COVID-19. Salah satunya adalah dengan memangkas subsidi minyak, karena harga minyak dunia yang turun saat ini, sehingga subsidi tidak diperlukan lagi.
Pemerintah juga dapat menyisir anggaran dana taktis para pejabat negara, seperti gubernur dan bupati/walikota. Disamping itu, anggaran belanja untuk pegawai juga bisa menjadi prioritas, karena menyedot habis anggaran. Di daerah, sekitar 60-80% APBD habis untuk belanja rutin, yang mayoritas untuk gaji pegawai.
Yang terakhir ini, sekarang baru menjadi prioritas Menteri Keuangan, karena disinyalir banyak pegawai pemerintah daerah yang tunjangan kinerja (Tukin) nya melebihi tukin pegawai pemerintah pusat. Semoga cara dapat mengurangi potensi pembengkakan defisit APBN.
Makmun Syadullah
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal
(tulisan ini adalah pendapat pribadi)