Penulis : Syaifullah Amin
Di tengah imbauan menjaga kesehatan pribadi dan social distancing yang digembar-gemborkan oleh pemerintah, kita mungkin pusing kepala dengan kelakuan masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, jangankan di daerah, di Jakarta pun masyarakat seakan tidak peduli dengan imbauan ini.
Jalanan dan pasar masih ramai pengunjung. Aktivitas ekonomi masih mengalir lancar, terutama sektor ekonomi non formal. Meski ada penurunan, tetapi tidak cukup membuat kota menampakkan wajah ketakutan. Moda transportasi umum juga masih sering sesak dan sempat terjadi masalah saat dikurangi intensitasnya.
Meski pemerintah meliburkan sekolah dan beberapa layanan masyarakat, semua itu tak cukup menghentikan denyut ekonomi warga. Hari-hari belakangan bahkan beberapa perusahaan di Jakarta turut “meliburkan” karyawannya. Maka kita lihat seminggu ini ke depan, apakah aktivitas masyarakat akan turun drastis?
Semoga saja demikian sesuai harapan banyak orang agar kekhawatiran merebaknya virus corona sebagai sumber masalah bisa terobati dan tidak tercipta kepanikan. Karena kota yang panik bisa menimbulkan bahaya besar.
Titik Kumpul
Sudah seminggu Jakarta menutup tempat-tempat wisatanya untuk membatasi titik kumpul masyarakat. Pembatasan ini bahkan menyasar hingga upaya penutupan tempat-tempat ibadah sebagai sesama penyandang kategori titik kumpul. Dampaknya pro dan kontra merebak. Apakah memang masjid harus ditutup? Layakkah masjid ditutup?
Kejadian di Masjid Istiqlal dan Masjid Raya Bandung pada Jumat pekan lalu menunjukkan bahwa penutupan kegiatan ibadah ternyata tidak cukup efektif untuk menghalau masyarakat mendatangi masjid. Maka, apalagi masjid-masjid di perkampungan penduduk? Tentu lebih tidak efektif dan bisa menimbulkan masalah baru.
Orang-orang akan bertanya, kenapa tempat ibadah yang justru “dikalahkan” dibanding tempat berkumpul lain? Kenyataannya kita masih mendapati banyak tempat hiburan buka, acara hiburan di televisi masih tetap siaran seperti biasa; tetap mengumpulkan orang dan tidak tampak pembatasan apa pun. Ketidaktegasan ini bisa menimbulkan kegaduhan bila tempat ibadah dibatasi secara sangat ketat dan tegas. Bukankah negara kita juga mendasarkan fondasinya pada Ketuhanan?
Dari sisi ajaran agama, orang-orang akan bertanya, bukankah selama ini masjid dan tempat ibadah lainnya yang selalu mengajak masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan di saat ketakutan melanda; di saat kekalutan dan kekhawatiran terhadap segala jenis bahaya? Baik bahaya pribadi maupun bahaya bersama. Lalu kenapa sekarang masjid seperti ingin berlepas tangan?
Di mata masyarakat awam, masjid dan rumah ibadah lainnya adalah rumah Tuhan; di sanalah mereka bisa menemui Tuhan, mengadu, dan berkeluh kesah, seperti selama ini para agamawan mengajari mereka. Lalu mengapa sekarang para agamawan pun turut melarang mereka mendatangi rumah Tuhan? Ke manakah mereka kini harus mengadu? Sementara kegiatan lain masih bisa dikatakan berjalan cukup normal.
Problem Ruang dan Ekonomi
Social distancing atau pembatasan gerak yang dicanangkan oleh pemerintah berbenturan dengan kebutuhan ekonomi serta ruang bagi masyarakat kota, khususnya bagi masyarakat kelas ekonomi lemah. Social distancing mungkin bukan problem berarti bagi masyarakat kelas menengah dan atas secara ekonomi.
Mereka yang memiliki rumah luas dan bertembok tinggi mungkin bisa menutup rumahnya setelah terlebih dulu menyetok makanan untuk jangka waktu tertentu. Mereka yang bisa bekerja di depan laptop mungkin masih bisa work from home selama internet menyala. Anak-anak mereka masih bisa bermain di halaman rumah yang luas sementara pintu gerbang terkunci rapat. Dan mungkin mereka masih bisa merasa nyaman.
Tetapi bagaimana dengan masyarakat kelas ekonomi bawah? Apakah mereka bisa bertahan bila dilarang keluar rumah? Di manakah anak-anak mereka bermain bila ruang-ruang publik juga ditutup? Bahkan hingga masjid pun ditutup? Sementara mereka tinggal di rumah-rumah petak yang saling berhimpitan dan hampir tanpa ruang terbuka yang nyaman.
Belum lagi bila mereka termasuk kelas ekonomi yang harus bekerja untuk bisa makan di hati yang sama. Sanggupkah mereka bertahan –bila untuk bertemu Tuhan pun mereka dilarang?
Atau, apakah kita harus menyalahkan masjid dan tempat ibadah lain yang masih membuka diri? Benarkah Tuhan memerintahkan rumah-Nya ditutup saat para hambanya menghadapi kebingungan, ketidakpastian, dan ketakutan?
Maka di sinilah mestinya masjid dan tempat ibadah lain turut andil membantu mengatasi masalah dan membantu menenteramkan masyarakat, karena kepanikan hanya akan memperburuk keadaan. Jangan sampai masjid dan rumah ibadah lainnya turut menyumbang kepanikan atau menimbulkan masalah baru.
Di sinilah pihak para pihak harus bekerja keras seperti para tenaga medis yang terus berjibaku dengan waktu untuk mengatasi keadaan.
Masjid harus turut menyemai rasa aman dalam diri masyarakat tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi yang lainnya, tanpa harus dituduh sebagai tempat penularan virus yang mengancam ini. Masjid harus tetap memfasilitasi para pendoa yang ingin menenangkan diri bersimpuh di hadapan Tuhan. Bahkan bila pun selama ini mereka bukan orang yang rajin ke masjid.
Masjid tidak bisa ditutup sepenuhnya, bahkan bila banyak tempat lain ditutup total.
Di sisi lain, masjid juga harus menjaga diri dari tuduhan sebagai faktor penyebaran virus. Maka masjid harus bekerja keras. Bisa dengan membatasi jumlah jamaah dalam waktu tertentu dan mempersingkat durasi ibadah pada saat tertentu, Salat Jumat misalnya. Menyediakan fasilitas sterilisasi jamaah seperti hand sanitizer dan menganjurkan membawa sajadah dari rumah. Menjaga kerapatan dan kontak fisik jamaahnya, serta menjamin kesterilan bangunan masjid, baik dinding, lantai maupun lainnya.
Hal itu bisa dilakukan dengan penyemprotan disinfektan secara berkala, sebagai medis menganjurkan.
Masjid harus berperan aktif dalam menyebarkan informasi bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Seperti mengulang-ulang anjuran menjaga kesehatan dan mengurangi aktivitas di luaran yang tidak perlu.
Bahkan bila perlu, masjid harus terlibat aktif dalam menjaga keselamatan sosial warganya, seperti memberikan bantuan bagi jamaah dan warga yang sangat membutuhkan. Masjid harus menjamin bahwa tidak ada warganya dalam radius tertentu yang kelaparan akibat terus menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Kesemua hal di atas bahkan selama ini sudah sering dilakukan oleh masjid. Hanya saja mungkin sekarang harus lebih ditingkatkan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap rumah ibadah. Agar rumah ibadah bukan menjadi bagian pihak yang lari dari tanggung jawab atau turut cuci tangan ketika ada masalah.
Masjid bisa menjadi garda terdepan tindakan gotong-royong dan memupuk rasa senasib sepenanggungan masyarakat dalam menghadapi badai wabah corona ini. Bukankah selama ini masjid selalu dicita-citakan sebagai salah satu simpul kohesivitas sosial?
Syaifullah Amin Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ketua Takmir Masjid Al-Munawwaroh Ciganjur
Tulisan ini telah dimuat di detik.com