Perjanjian kerjasama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akhirnya ditandatangani juga, 15 Nopember 2020 yang lalu. Kawasan ini (minus India) berpeluang akan menjadi wilayah yang saling menguntungkan. Hal ini, karena akan terkumpulnya lebih dari 29,6 persen populasi dunia.
Negara-negara anggota diharapkan akan menguasai pangsa pasar sebesar 27,4 persen dari perdagangan dunia dengan nilai USD 17 triliun atau 30,2 persen PDB dunia. Selain itu pasca pandemi nanti, diperkirakan PDB akan tumbuh rata-rata 6 persen pertahun, ditambah lagi kemudahan akses pasar terutama ke kawasan China, Korea Selatan dan Jepang sebagai motor pertumbuhan di Asia. Temasuk, banyaknya pemanfaatan berbagai akumulasi bahan baku atau sumber daya.
Beberapa hasil kajian merekomendasikan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir keikutsertaannya dalam keanggotaan RCEP karena adanya dampak dan konsekuensi yang akan dialaminya. Justeru bila tidak ikut dalam forum ini maka akan mempunyai pengaruh negatif.
Hal ini karena Indonesia akan tidak terkoneksi jaringan Global Value Chain (GVC) anggota RCEP lainnya. Memang, beberapa negara anggota lain akan mengalami hal yang sama dengan Indonesia yaitu terdapat sektor-sektor yang menang (winner sector) dan kalah (loser sector) dalam persaingan diantara anggota RCEP.
Oleh karena itulah diperlukan antisipasi dan strategi serta kebijakan guna meningkatkan daya saing industri terutama pada produk loser sector, agar dapat lebih kompetitif dengan negara anggota lainnya. Produk losser sector tersebut adalah sebagai produk yang selama lima tahun terakhir mempunyai tren penurunan (perlambatan) ekspornya.
Beberapa produk looser sector antara lain produk makanan minuman, produk peternakan, industri ringan dan hasil produk industri berat. Sedangkan sektor yang berpotensi mendapatkan keuntungan (winner sector) dalam forum kerjasama RCEP antara lain sektor pertanian, produk tambang (ekstraksi), produk dari kayu, produk hasil kimia/karet/plastik dan produk elektronika.
Bila dicermati daya saing produk makanan minuman (food and beverage) untuk pasar RCEP antara tahun 2015 sampai dengan 2019 tidak terlalu buruk. Artinya produk-produk ini sebetulnya mempunyai daya saing di pasar negara anggota ASEAN dan RCEP. Untuk sektor produk makanan minuman yang mempunyai daya saing tinggi seperti produk teh, kopi dan makanan ringan.
Hasil perhitungan Revealed Comparative advantage (RCA) sebagai salah satu alat ukur daya saing menunjukkan bahwa sebagian besar sektor peternakan dan produk peternakan ternyata masih relatif rendah, lebih kecil dari satu. Artinya masih rendah daya saingnya. Hanya ada beberapa produk peternakan yang mempunyai daya saing tinggi seperti produk peternakan babi hidup, ikan, lobster, udang, tuna, cumi-cumi dan lain-lain.
Sedangkan produk-produk industri ringan, ternyata juga masih relatif rendah daya saingnya sehingga masih sulit masuk ke pasar negara RCEP. Namun, produk industri ringan berupa barang-barang kerajinan yang dilapisi perak dan emas mempunyai daya saing yang relatif tinggi.
Sedangkan produk industri alat berat Indonesia ke negara-negara RCEP ternyata masih dibawah satu, belum bisa bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. Produksi industri berat Indonesia tesebut antara lain loko kereta api, kereta api dan peralatannya, kontainer, traktor, hasil industri otomotif (motor,mobil), hasil industri alat-lat persenjataan dan lain-lain.
Sebagain besar dari empat sektor produk tersebut masih mempunyai rata-rata RCA di bawah satu yang berarti masih relatif rendah daya saingnya. Oleha karena itu produk-produk ini masih perlu dilakukan penguatan daya saingnya agar dapat bersaing di pasar RCEP.
Untuk meningkatkan daya saing keempat produk tersebut terutama di pasar RCEP, diperlukan berbagai strategi penguatan. Salah satu langkah penguatan keempat sektor produk tersebut adalah terus melakukan peningkatan dan perbaikan infrastruktur yang semakin memadai.
Untuk mendorong daya saing produk loser sector tersebut juga dapat diberikan pemberian berbagai insentif seperti insentif fiskal, kemudahan perijinan usaha, jaminan kredit dan lain-lain. Perbaikan industri pendukung juga sangat diperlukan seperti ketersediaan bahan baku di dalam negeri dan terus dilakukan program hilirisasi produk. Selain itu terus dilakukan reformasi dan perbaikan iklim usaha, termasuk mendorong peningkatan efisiensi usaha.
Salah satu PR besar Pemerintah adalah semangat pemberantasan KKN dan perbaikan layanan umum yang terus harus dilanjutkan sehingga akan menurunnya biaya overhead. Menurut hasil kajian, pengeluaran berbagai pungutan dan untuk biaya karena buruknya layanan umum ternyata menambah biaya overhead sekitar 8,7 persen – 11,2 persen. Cost of money yang relatif tinggi tersebut tercermin dari suku bunga. Sehingga pada akhirnya harga jual produk juga akan tinggi.
Selanjutnya, terus dilakukan perbaikan dan reformasi administrasi perpajakan yang lebih optimal. Pengusaha menganggap administrasi perpajakan terutama berkaitan dengan restitusi produk-produk industri ekspor masih belum efisien. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk ekspor menjadi tidak efisien yang mengakibatkan tingginya harga jual. Hal lainnya adalah, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas dan berbagai inovasi yang bermutu bagi teknologi produksinya.
Hal lainnya adalah terus menaikkan struktur industri nasional. Sebagai illustrasi, di industri kendaraan bermotor jumlah produsen komponen mencapai 155 perusahaan. Namun hampir semua produsen komponen ini merupakan pemasok lapis pertama. Hal ini menunjukkan lemahnya kedalaman struktur industri nasional otomotif. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama di Jepang ada 350 pemasok lapis pertama, 2.000 pemasok lapis kedua, dan 10.000 pemasok lapis ketiga. Artinya industri nasional Jepang sangat terintegrasi secara vertikal.
Hal yang tidak kalah penting adalah terus mendorong peranan industri kecil dan menengah. Industri berskala menengah (20-99 orang tenaga kerja), berskala kecil (5-19 orang tenaga kerja), dan industri rumah tangga (1–4 orang tenaga kerja) mempekerjakan dua pertiga tenaga kerja industri berat atau manufaktur di Indonesia. Walaupun, segmen industri ini hanya menyumbang 5-6 persen dari total nilai tambah manufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi di sub-sektor makanan dan kayu.
Industri-industri pada segmen ini pada umumnya melayani konsumen akhir atau memproduksi komponen untuk after sales market, dengan segmen kelas terendah. Sangat sedikit yang memproduksi bahan baku dan/atau barang intermediate serta memasoknya ke industri hilir. Dengan kondisi ini, industri kecil dan menengah di Indonesia belum berada dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar.
Terakhir, terus mendorong penyebaran industri agar tidak teraglomerasi di Pulau Jawa saja. Hal ini terkait dengan unit usaha industri yang merupakan pencipta kesejahteraan (wealth) melalui nilai tambah produk yang dihasilkan.
Menurut data, dari 21,146 usaha industri berskala menengah dan besar, 17.118 atau 80 persen diantaranya berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu industri di pulau Jawa mulai didorong ke daerah lain yang sudah memenuhi persyaratan. Pembuatan roadmap perluasan industri di luar Jawa ditinjau kembali sehingga secara alami pengembangan industri akan ke daerah-daerah tersebut. Untuk merangsangnya dapat diberikan berbagai insentif seperti insentif fiskal, termasuk perbaikan dan pengembangan kawasan industri baru di luar Pulau Jawa yang lebih efisien seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Ragimun
Peneliti pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral,
Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu