
JAKARTA – Jaringan Intlektual Hukum Indonesia (JIHN) mendorong pemerintah agar memikirkan ulang terkait rancagan Omnibus law ini. Pemerintah menganggap RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law adalah sebuah terobosan untuk mendorong peningkatan Investasi, lapangan Kerja dan Perekonomian nasional. Namun ini merupakan terobosan yang buruk.
Nadzir Ketua Jaringan Intlektual Hukum Indonesia, mengatakan RUU Cipta Kerja / Omnibus Law ini sangat berbahaya bagi pemenuhan hak hak masyarakat, utamanya bagi nasib tenaga kerja di indonesia. RUU Cipta Kerja merevisi dan menghapus sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tantang Ketenagakerjaan.
“Hal ini Berimbas pada mudahnya tenaga kerja asing masuk ke indonesia, praktek sistem pekerja kontrak yang selamanya bisa diterapkan perusahaan dan bisa berlaku pada seluruh bidang pekerja tanpa batas waktu,” ungkapnya Kamis, (30/4/2020) melalui siaran tertulisnya.
Dia megungkapkan, RUU Cipta Kerja akan menghilangnya standar upah minimm yang diterapkan karena hanya akan diterapkan sistem upah/jam. Selain itu draf UU yang diajukan pemerintah juga meneksploitasi waktu kerja, hingga hilangnya kewajiban pesangon dan jaminan sosial pada pekerja sekaligus hilangnya sanksi pidana kepada perusahaan, dengan dihapuskanya pasal 184 UU Nomor 13 tahun 2003 mengenai UU Ketenagakerjaan.
“Dengan dalih mempermudah Investasi, RUU Omnibuslaw merevisi dan menghapus sejumlah pasal di Undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban terhadap lingkungan dan sumber daya alam,” ungkapnya.
Nadzir sangat menyangkan pemerintah tidak menyadari bahwasanya hilangnya kewajiban izin analisis dampak lingkungan (AMDAL) pada sebuah investasi akan sangat berimbas buruk dalam upaya-upaya pelestarian termasuk juga ruang bagi masyarakat adat.
“Omnibus Law akan mengancam keselamatan rakyat dan berkelanjutan lingkungan hidup, hilangnya tanggung jawab mutlak korporasi di areal izinnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab mutlak direduksi hanya berkewajiban menanggulanginya. Selain itu untuk ketentuan pertanggung jawaban pidana sangat sulit dilakukan terhadap korporasi karena harus didahului dengan skema sanksi administrasi,” pungkasnya.