
Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Penyidikan kejahatan sektor keuangan kini tidak lagi ditangani tunggal oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan(OJK). Penyidik utamanya kini kembali dipegang Polri sesuai amanah UUD 1945.
Mahkamah konstitusi membacakan sidang Amar Putusan Perkara dengan No. 59/PUU-XXI/2023 pada Kamis (21/12) berkenaan dengan kewenangan penyidikan, salah satu diantaranya Ketentuan Pasal 8 Angka 21 UU Nomor 4 Tahun 2023 yang memuat perubahan dalam Pasal 49 Ayat (5) UU Nomor 21Tahun 2011 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, dapat dilakukan oleh Penyidik OJK.
Permohonan Judicial Review UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang diajukan oleh Serikat Pekerja NIBA AJB Bumiputera 1912 pada Pasal 8 angka 21 Pasal 49 ayat (5), MK mengabulkan permohonan para pemohon.
“Selanjutnya dalam Pokok Permohonan, MK mengabulkan permohonan para Pemohon untuk Sebagian” kutip amar putusan MK.
Setelah putusan MK tersebut, OJK berperan sebagai penyidik penunjang, yang harus berkoordinasi dengan Polri dalam melakukan penyidikan kasus sektor jasa keuangan.
Selama persidangan Kepolisian RI dihadiri oleh Kombes. Pol. Candra Sukma Kumara selaku Kasubdit Perbankan dan didampingi AKBP. Vanda Rizano, di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri menyampaikan bahwa Kepolisian sebagai fungsi yang diberikan amanat oleh UUD 1945 selaku Penyidik Utama dan Undang-undang terkait adanya Putusan MK RI perkara a quo, patuh dan akan melaksanakan peran, fungsi, dan kewenangan dengan baik dan profesional. Dan Kepolisian hakekatnya posisinya netral dan tidak mereduksi kewenangan OJK.
“Sudah sepatutnya Penyidik Kepolisian memberikan pengayoman terhadap masyarakat. Namun demikian sekalipun Polri selaku Penyidik Utama dan kedudukan OJK selaku Penyidik Penunjang dalam penyidikan sektor jasa keuangan tetap akan saling bekerjasama dan berkoordinasi sebagaimana konstitusi dan Putusan MK tersebut guna kualitas penyidikan serta kedudukan kelembagaan yang menjadi alat negara dalam partisipasinya menjaga stabilitas sektor jasa keuangan”, ungkapnya.
Ketentuan-ketentuan a quo dalam UU PPSK merupakan rumusan yang jelas dan terang benderang, bahwa hanya penyidik OJK yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Akibatnya dalam praktek di lapangan terdapat beberapa fakta pengaduan masyarakat yang tidak dapat ditindaklanjuti.
“Misalkan Perkara BNI Makasar perihal dugaan tindak pidana perbankan dan/atau tindak pidana pencucian uang. Dalam perkembangannya penyidik 447 mengirimkan SPDP atas tersangka baru, akan tetapi berkas tersebut dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum melalui Berita Acara Koordinasi dan Konsultasi antara penyidik dan jaksa penuntut umum pada bulan Januari 2023 dengan alasan telah diberlakukannya UU PPSK bahwa penyidikan tindak pidana di sektor Jasa Keuangan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan”, imbuhnya.
Beberapa fakta yang terjadi dalam proses penegakan hukum di bidang sektor jasa keuangan tersebut, menjelaskan bahwa Ketentuan a quo UU PPSK dipahami secara praktik bahwa hanya Penyidik OJK saja yang berwenang, sehingga Polri kehilangan kewenangan penyidikan sektor jasa keuangan di bidang Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, dan Perasuransian.
“Frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam ketentuan a quo, menimbulkan keraguan dari penyidik Polri, untuk melakukan suatu tindakan penanganan pengaduan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan”, jelasnya.
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Sektor Jasa Keuangan, yang dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa: Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan terdiri atas pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan Penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan: Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang dan bertanggung jawab melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
“Secara substansial materi Pasal 2 ayat (1) PP No. 5 Tahun 2023 memiliki kebijakan yang berbeda dan bertentangan dengan Ketentuan penyidikan dalam UU PPSK. Padahal sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Peraturan Pemerintah hirarkinya berada di bawah Undang-Undang”, tegasnya.
Hilangnya kewenangan Polri sebagai penyidik tindak pidana sektor jasa keuangan pasca diundangkannya UU PPSK, maka berpotensi melumpuhkan penegakan hukum di sektor jasa keuangan secara signifikan.
Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 menyatakan penyidik polri memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana jasa keuangan. Dalam putusan dimaksud juga menyatakan OJK memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana jasa keuangan, yang dalam pelaksanaan penyidikan oleh OJK wajib berkoordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dipersyaratkan penyidik lembaga lain, mengingat jika dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu.
“Namun dalam praktiknya berdasarkan data dari Korwas PPNS Bareskrim Polri tidak seluruh perkara yang disidik oleh OJK dilakukan melalui koordinasi dengan Polri. Sebagai contoh pada tahun 2019 sampai dengan 2022 dari total 86 perkara yang diselesaikan oleh OJK, hanya 7 perkara yang dilakukan koordinasi dengan Polri dalam proses penyidikannya”, terangnya.
Bahwa sesuai dengan norma Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 Polri diberikan kewenangan konstitusional dalam penegakan hukum berupa penyidikan semua tindak pidana.
“Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 8 angka 21 Pasal 49 ayat (5) maka berakibat Polri kehilangan kewenangan penyidikan sektor jasa keuangan yang dijamin oleh UUD 1945, UU Polri dan KUHAP. selain itu, menimbulkan keraguan dari penyidik Polri, untuk melakukan tindakan penanganan pengaduan masyarakat terhadap tindak pidana yang berakibat penolakan lembaga lain dalam penanganan kasus tersebut”, pungkasnya.