Jakarta – Deretan permasalahan masih menjadi pekerjaan rumah bagi OJK. Maraknya kasus investasi bodong, pinjaman online illegal, sampai asuransi bermasalah menimbulkan kerugian dana masyarakat ratusan triliun rupiah.
Bahkan, dampak terburuknya adalah hilangnya kepercayaan dari masyarakat. Kasus Jiwasraya dan Asabri pun turut menjadi perhatian, karena belum terungkap secara tuntas.
Ari Nurcahyo, Direktur Eksekutif PARA Syndicate mengatakan, bahwa OJK harus meningkatkan pengawasan terhadap industri jasa keuangan yang berkembang pesat.
“Upaya dalam memperkuat fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan harus menjadi perhatian bersama”, ungkapnya pada diskusi daring Syndicate Update – Forum Ekonomi dan Bisnis bertajuk “Mengawal Pansel OJK, Mengawal Pengawasan Indsutri Jasa Keuangan” pada Selasa (25/01/2022).
Menurut Ari Nurcahyo, panitia seleksi (pansel) Calon Dewan Komisioner (DK) OJK periode 2022 – 2027 harus dapat pengawalan dari publik.
“untuk menghasilkan anggota dewan komisioner yang independen dan kompeten menjadi langkah awal, untuk menghasilkan perbaikan dan meningkatkan pengawasan di bidang industri jasa keuangan”, ungkapnya.
Sementara itu, Firdaus Djaelani Kepala Eksekutif Pengawas IKNB (2012-2017) mengatakan, perkembangan finance technology (fin-tech) menjadi tantangan bagi OJK.
“Saat ini jumlahnya sudah mencapai sekitar dua ribu tiga ratus, itu data yang saya dapat. Jumlah sebanyak itu, bagaimana OJK mengawasi,” ucapnya.
Ia melanjutkan, bila kasus-kasus investasi bodong maupun pinjol terus terjadi, yang menjadi korban adalah rakyat kecil dengan penghasilan marjinal.
“Perlu adanya pengawasan yang terintegrasi dengan satu kepala eksekutif”, lanjutnya.
Djaelani menambahkan, OJK ke depan membutuhkan komisioner yang paham betul fungsi, tugas, dan kewewenangan OJK serta memahami betul kondisi pasar industri keuangan ke depan di era digital.
Johanes Saragih dari Padepokan Microfinance Indonesia menilai bahwa OJK sudah harus direvolusi. Sebab, kegagapan dalam menghadapi perkembangan teknologi di sektor keuangan era digital menjadi tanda lemahnya OJK.
“Kita kaget dengan fintech, padahal pinjaman online itu sama dengan pinjaman antar teman, namun naik ke angkasa (daring),” ujarnya.
Perkembangan saat ini, lanjut Johanes, tiap orang adalah kantor cabang dari beragam bank. Hal itu ditandai dengan adanya aplikasi perbankan di tiap gadget kita. Menurutnya, tiap gadget yang kita miliki menjadi outlet dari bank.
“menghadapai situasi yang demikian, pendekatan birokrasi dengan melakukan izin dan sebagainya sudah tidak relevan. Namun, harus tetap membawa kepentingan masyarakat banyak dalam setiap kebijakan”, ujar Johanes.
Peran ahli dalam memilih anggota dewan komisioner sangat penting.
“Saya harap pansel bertanya sama ahlinya, bukan konconya.”
Menurutnya, pendekatan birokratis politis sangat tidak relevan dalam organisasi yang super-teknis. Selain itu, ia juga berharap orang-orang yang terpilih menjadi anggota dewan komisioner adalah orang yang memahami situasi industri jasa keuangan. Revisi Undang-Undang OJK (UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK) juga menjadi sorotan Johanes,
“karena sudah tidak relevan menghadapi perkembangan industi keuangan era digital,” tutupnya.