Dinamika perpolitikan Indonesia belakangan ini di kejutkan oleh wacanaPemilu sistem proporsional tertutup untuk system pemilu 2024. Dua kader partai politik yakni satu kader dari Pengurus Partai PDI Perjuangan (PDIP) dan anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan empat perseorangan warga negara mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan mengenai sistem pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Meraka dengan dalih Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara delapan dari sembilan partai politik (parpol) di DPR menyatakan sikap menolak pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional tertutup. Adapun 8 partai tersebut yakni, Partai Golkar, PAN, PKB, Partai Demokrat, PPP, Partai Nasdem, PKS, dan Partai Gerindra
Salah satu gugatan mereka terhadap pasal 168 ayat 2 yang berbunyi “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Khusus pasal tentang sistem Pemilu proporsional terbuka yang sudah menjadi sistem Pemilu di era reformasi sebagai manifestasi semangat demokrasi setelah tumbang orde baru yang dikenal kurang demokrasi dalam melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan karena memakai sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo.
Apabila melihat sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup di mana pemilih hanya memilih partai politik. dan kemudian judicial review menghasilkan amar keputusan MK sistem proporsional terbuka.
Sistem Proposional terbuka.
Sistem Proposional Terbuka yang diuntungkan adalah segenap rakyat warga Indonesia dimanapun berada. Rakyat sebagai pemilih dapat menentukan calon anggota legislatif mana yang terbaik yang dicalonkan oleh partai politik yang diinginkan. Sistem Proposional terbuka memberikan hak penuh kepada rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen. Rakyat juga dapat memilih partai mana yang terbaik. Parpol dapat mengajukan calon anggota legislatif dari daftar yang tidak dibatasi.
Pemilu proposional tertutup yang mana rakyat hanya memilih parpol bukan calon legislatif. Partai yang mendapatkan suara terbanyak akan mendapatkan sejumlah kursi di parlemen. Pertanyaannya lantas siapa saja yang berhak mendudukinya, dan bagaimana penunjukannya. Semua tergantung pada parpol. Bukannya sistem seperti ini yang namanya “beli kucing dalam karung” karena rakyat sebagai pemilik suara tidak tahu siapa yang akan mewakili suara dan aspirasinya, juga kapasitas dan kredibilitas nya.
Hal tersebut akan merampas hak-hak rakyat yang potensial duduk dalam kursi parlemen khususnya kaum muda dan milenial potensial sebagai generasi penerus bangsa. Rakyat akan dirugikan sebagai orang yang dipresentasikan mewakili haknya. Karena rakyat tidak mengetahui siapa yang akan mewakili dan menimbulkan jarak.
Secara normatif, penyelenggaraan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dimaksudkan untuk menghasilkan para wakil rakyat yang akuntabel dan amanah terhadap yang diwakili atau rakyat (konstituen).
Pemilu proposional terbuka sudah berjalan selama tiga periode dan hasilnya juga berjalan dengan baik. Secara kaderisasi basis telah berjalan dan mengakar sampai bawah.
Yang cukup mengagetkan adalah yang mengajukan gugatan adalah temen-temen PDIP yang notabene musuh bebuyutan orde baru. Naskah akademik, disertasi Sekjen PDIP Pak Hasto sebagai acuan analisa kritis terhadap sistem proporsional terbuka menjadi sistem selama era reformasi dan menjadi pesta rakyat setiap lima tahun sekali. Karena rakyat menjadi subjek pelaku langsung pemilu, benar’ dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Point utama dari gugatan mereka adalah bahwa sistem pemilu proporsional terbuka banyak mudharatnya dan yang melahirkan korupsi dikalangan anggota DPR dan DPRD. Tak hanya itu kader-kader partai banyak dikalahkan oleh pendatang baru yang lebih kuat kapasitas finansial (bermodal uang) dan popularitas. Sekilas logis analisanya karena berbarengan dengan fakta banyaknya pejabat yang di OTT KPK.
Tapi pada kenyataannya fakta yang terjadi mereka-mereka yang terjaring OTT KPK tidak selalu pendatang/kader baru, banyak juga penghuni/kader lama partai . Dengan fakta-fakta ini menunjukkan dangkalnya kajian yang dijadikan pertimbangan menggugat sistem pemilu.
Saya pribadi yang sempat menjadi peserta pemilu di jaman rezim orde baru dan sekarang menjadi pelaku di era reformasi masih merasa ada yang ganjil. Maklum politik selalu dinamis, tidak jarang melalui tikungan tajam dan tanjakan terjal.
Saya mencoba menganalisa dengan data fakta produk pemilu terakhir yaitu pemilu tahun 2019 kemarin, saya tercengang begitu melihat data para legislator dari partai yang sekarang melakukan gugatan sistem pemilu proporsional terbuka, ternyata mayoritas usia tua. Di sini saya baru melihat ada benang merah antara semangat membabi buta temen-temen penggugat untuk mengganti sistem Pemilu proporsional terbuka dikembalikan ke sistem orba yaitu proporsional tertutup.
Data tersebut menjadi indikator kuat kegagalan PDIP melakukan kaderisasi partainya, dan hal tersebut yang mungkin menyebabkan PDIP takut berkompetisi secara terbuka dan demokratis dengan partai lain dalam perhelatan pileg 2024 ini.
Politik memang terkadang panggung sandiwara.
Oleh : Imam Subali
Ketua Umum Garda BMI