
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa pembatalan perjanjian asuransi tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh perusahaan asuransi, kecuali ada kesepakatan dengan pemegang polis atau melalui putusan pengadilan.
AJB Bumiputera 1912 menerapkan kebijakan Penurunan Nilai Manfaat (PNM) sebagai bagian dari Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang telah mendapatkan pernyataan tidak keberatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apakah putusan MK tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi pemegang polis untuk menggugat kebijakan PNM secara massal serta meminta siapa yang bertanggung jawab atas keputusan tersebut, baik dari sisi AJB Bumiputera 1912, maupun OJK sebagai Pengawas dan Regulator ?.
Industri asuransi jiwa di Indonesia diguncang terkait kebijakan Penurunan Nilai Manfaat (PNM) yang diterapkan oleh AJB Bumiputera 1912 sebagai bagian dari upaya restrukturisasi keuangan. Kebijakan ini mendapat reaksi keras dari pemegang polis, yang merasa hak mereka dirugikan.
Putusan MK No. 83/2024 yang membatalkan Pasal 251 KUHD menegaskan bahwa perusahaan asuransi tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubah ketentuan perjanjian tanpa kesepakatan dengan pemegang polis atau melalui putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, Apakah putusan MK ini dapat digunakan oleh pemegang polis AJB Bumiputera 1912 untuk menggugat kebijakan PNM yang telah diterapkan?
Putusan MK 83/2024: Perlindungan bagi Pemegang Polis?. Putusan MK No. 83/2024 menguatkan posisi pemegang polis dalam perjanjian asuransi. Inti dari putusan ini adalah:
Perusahaan asuransi tidak dapat membatalkan atau mengubah perjanjian asuransi secara sepihak. Perubahan atau pembatalan harus dilakukan dengan persetujuan pemegang polis atau melalui putusan pengadilan. Regulasi yang memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi untuk secara sepihak mengubah manfaat dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Kebijakan PNM AJB Bumiputera 1912 yang mengurangi manfaat pemegang polis secara massal, jelas merugikan masyarakat. Jika kebijakan ini diterapkan tanpa persetujuan eksplisit dari seluruh pemegang polis, maka ada potensi pelanggaran hukum yang bisa digugat.
Apakah Putusan MK Berlaku Surut?
Secara prinsip, putusan MK berlaku sejak tanggal diucapkan dan tidak memiliki efek retroaktif. Namun, dalam praktiknya, putusan ini dapat menjadi dasar hukum bagi gugatan yang masih berjalan atau belum diputus secara final oleh pengadilan.
Pemegang polis dapat mengajukan gugatan dengan argumentasi bahwa kebijakan PNM bertentangan dengan putusan MK yang menegaskan hak pemegang polis. Oleh karena itu, meskipun PNM telah diterapkan sebelum putusan MK dikeluarkan, pemegang polis masih bisa memperjuangkan hak mereka, baik melalui gugatan individual maupun gugatan class action.
Tanggung Jawab: AJB Bumiputera, OJK, atau Pemerintah?
Dalam polemik ini, terdapat beberapa pihak yang memiliki tanggung jawab, yaitu:
AJB Bumiputera 1912 sebagai perusahaan asuransi yang menerapkan kebijakan PNM, AJB Bumiputera 1912 bertanggung jawab terhadap pemegang polisnya. Keputusan PNM yang memotong manfaat secara sepihak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak jika tidak dilakukan dengan persetujuan penuh pemegang polis.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator, OJK memiliki peran dalam mengawasi kebijakan PNM melalui persetujuan RPK AJB Bumiputera. Namun, OJK hanya memberikan pernyataan tidak keberatan, bukan persetujuan langsung.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah OJK seharusnya bertindak lebih tegas dalam melindungi pemegang polis?
Pemerintah dan Kementerian BUMN, meskipun AJB Bumiputera bukan perusahaan BUMN, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab dalam menciptakan regulasi yang memastikan perlindungan pemegang polis. Kasus Jiwasraya sebelumnya menunjukkan bahwa intervensi negara dalam penyelesaian kasus gagal bayar asuransi menjadi penting demi menjaga kepercayaan publik terhadap industri keuangan.
Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh Pemegang Polis
Jika pemegang polis merasa dirugikan oleh kebijakan PNM, ada beberapa langkah hukum yang dapat ditempuh:
Gugatan Perdata
Pemegang polis dapat mengajukan gugatan terhadap AJB Bumiputera 1912 atas dugaan pelanggaran perjanjian asuransi. Putusan MK dapat dijadikan argumen hukum untuk memperkuat posisi pemegang polis.
Gugatan Class Action
Jika banyak pemegang polis mengalami kerugian yang sama, mereka dapat mengajukan gugatan class action untuk menuntut hak mereka secara kolektif.
Pengaduan ke OJK
Pemegang polis dapat meminta OJK untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan PNM dan mempertimbangkan intervensi lebih lanjut.
Legislasi dan Regulasi Tambahan
Pemegang polis juga dapat mendorong DPR dan pemerintah untuk mengeluarkan regulasi baru yang lebih tegas dalam melindungi hak mereka.
Putusan MK No. 83/2024 memberikan angin segar bagi pemegang polis asuransi, termasuk mereka yang terdampak kebijakan PNM AJB Bumiputera 1912. Meski putusan ini tidak berlaku surut, pemegang polis masih memiliki peluang untuk menempuh jalur hukum guna memperjuangkan hak mereka.
Tanggung jawab dalam kasus ini tidak hanya ada pada AJB Bumiputera 1912, tetapi juga pada OJK sebagai regulator yang seharusnya memastikan perlindungan pemegang polis, serta pemerintah yang harus memastikan keadilan dalam industri keuangan.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, langkah selanjutnya ada di tangan pemegang polis: Apakah mereka akan memperjuangkan hak mereka atau pasrah terhadap kebijakan yang merugikan?
AJB Bumiputera 1912 harus bisa belajar dari peristiwa masa lalu dimana kerugian yang terjadi hingga saat ini belum diketahui, entah akibat tata kelola yang buruk di internal AJB Bumiputera 1912 atau kelalaian Regulator atau bahkan kerugian yang lazim. Hal ini penting, bahwa pengungkapan masalah sebagai bahan evaluasi bagi industri dan bermanfaat bagi Pemerintah dan masyarakat untuk kepentingan stabilitas yang sustainable.
Gugatan perwakilan kelompok, atau yang dikenal sebagai class action, adalah mekanisme hukum di mana satu atau beberapa orang mewakili sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan kerugian yang sama untuk mengajukan gugatan. Di Indonesia, dasar hukum utama yang mengatur mengenai class action adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Landasan Hukum Gugatan Class Action di Indonesia
Selain Perma No. 1 Tahun 2002, beberapa undang-undang lain juga mengatur mengenai class action, antara lain:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: Pasal 46 ayat (1) huruf b UU ini menyatakan bahwa konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui perwakilan kelompok.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pasal 91 ayat (1) UU ini memberikan hak kepada masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan dalam hal pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang merugikan kehidupan masyarakat.
Syarat dan Prosedur Pengajuan Class Action
Perma No. 1 Tahun 2002 menetapkan beberapa syarat dan prosedur dalam pengajuan gugatan class action, antara lain:
1. Jumlah anggota kelompok
Kelompok yang diwakili harus terdiri dari sejumlah orang yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum atas peristiwa yang menjadi dasar gugatan.
2. Kesamaan kepentingan
Terdapat kesamaan kepentingan antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang diwakilinya.
3. Wakil kelompok
Satu atau beberapa orang ditunjuk sebagai wakil kelompok untuk mewakili kepentingan seluruh anggota kelompok.
4. Notifikasi
Wakil kelompok wajib memberitahukan kepada anggota kelompok mengenai adanya gugatan tersebut, baik melalui media massa maupun cara lain yang efektif.
Contoh Kasus Class Action di Indonesia
Salah satu contoh kasus class action di Indonesia adalah gugatan yang diajukan oleh warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait penggusuran paksa dalam proyek normalisasi Kali Ciliwung. Dalam kasus ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa pemerintah Jakarta dan tergugat lainnya wajib membayar ganti rugi materiil kepada warga yang terdampak.
Contoh lainnya adalah gugatan class action yang diajukan oleh keluarga korban gagal ginjal akut akibat konsumsi sirup obat yang terkontaminasi. Pengadilan memutuskan bahwa perusahaan farmasi terkait bertanggung jawab dan diwajibkan membayar kompensasi kepada keluarga korban.
Relevansi dengan Kasus AJB Bumiputera 1912
Dalam konteks kebijakan Penurunan Nilai Manfaat (PNM) yang diterapkan oleh AJB Bumiputera 1912, pemegang polis yang merasa dirugikan dapat mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan class action. Hal ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa perusahaan asuransi tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubah perjanjian asuransi tanpa persetujuan pemegang polis atau putusan pengadilan.
Dengan demikian, pemegang polis yang memiliki kepentingan dan kerugian yang sama akibat kebijakan PNM dapat mengajukan gugatan class action sebagai upaya hukum untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
F. Ghulam Naja
Ketua Umum SP NIBA
AJB Bumiputera 1912