
Krisis global covid-19

Oleh: Makmun Syadullah
Kinerja Wall Street dalam beberapa pekan ini mulai mengkhawatirkan, yang ditansai dengan koreksi yang dalam. Hal ini dapat menjadi koreksi yang dalam pada perdagangan akhir pekan menjadi penghancur mood pelaku pasar di Asia. Tidak menutup kemungkinan memburuknya kinerja Wall Street ini ada kaitannya dengan hantu resesi di Amerika Serikat (AS).
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, maka apabila AS mengalami resesi, maka akan menyeret seluruh negara di dunia. Ini sudah terbukti saat krisis subprime mortgage 2008-2009 yang bermula di AS kemudian menjelma menjadi krisis keuangan global.
Fakta menunjukkan bahwa bursa global mulai berjatuhan, bahkan menurut Goldman Sachs Group Inc dan Morgan Stanley wabah COVID-19 telah memicu terjadinya resesi ekonomi global. Hingga pekan kedua April, nilai saham yang terhapus dari pasar saham di Amerika Serikat mencapai setidaknya sekitar US$8 triliun atau sekitar Rp132 ribu triliun.
Tanda-tanda krisis juga ditunjukkan dengan anjloknya harga minyak dunia juga turun sekitar 50 persen dari sebelumnya sekitar US$60 barel per dolar menjadi sekitar US$30 barel per dolar. Hal ini mengindikasikan turunnya minat pembelian minyak bumi sekaligus menandakan turunnya kegiatan ekonomi dan perusahaan secara global, yang berbasis minyak bumi, akibat wabah virus Corona yang terus menyebar.
Penurunan indikator ekonomi global membuat para ekonom berfokus pada seberapa lama resesi akan berlangsung dan seberapa parah efeknya bagi ekonomi dunia.
Menurut tim ekonom Morgan Stanley seperti dilansir The Edge Markets dan Aljazeera, meskipun respon kebijakan yang dibuat pemerintah akan memberikan perlindungan, kerusakan ekonomi akibat wabah COVID-19 dan kondisi keuangan yang tertekan akan menjadi goncangan nyata bagi ekonomi global. Tim ini meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 0.9 persen tahun 2020.
Angka ini ini hampir sama dengan prediksi International Monetary Fund (IMF) yang akan tumbuh 0.8 persen.
Adanya risiko besar yang membayangi perekonomian AS dan dunia, membuat para investor akan mencari tempat untuk melindungi ke aset-aset yang dianggap aman. Tanda-tanda akan terjadi perpindahan arus modal ke aset yang lebih aman (flight to safety/flight to quality) sudah terlihat.
Setidaknya ini tercermin pada Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,05%. Perlahan tetapi pasti, aliran modal mulai berpindah pada mata uang Negeri Paman Sam.
Bagaimana Indonesia?
Amerika sudah pada tahap pra resesi. Indikatornya adalah kurva imbal hasil surat utang AS atau inverted yield curves. Saat ini ada kecenderungan sinyal resesi AS menguat dan menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar global. Hal ini dapat berdampak ke negara-nefara lain, termasuk Indonesia, melalui saluran sektor finansial.
Belajar dari krisis subprime mortgage 2008, transmisinya semakin cepat ke pasar modal dan perbankan. Dengan sistem keuangan Indonesia yang sudah terintegrasi dengan pasar global, maka akinatnya investor yang panik akan menarik modalnya dari Indonesia (panic sell off) dan memicu krisis likuiditas.
Dampak resesi di AS juga bisa melalui perdagangan barang dan jasa. Resesi AS akan memicu pelemahan permintaan produk dari Indonesia. Apalagi porsi ekspor Indonesia ke ke AS mencapai kurang lebih 11,5 persen dari total ekspor non migas pada 2019.
Secara tidak langsung seluruh negara lain di dunia akan mengalami penurunan permintaan. Apabila ekspor Indonesia ke AS terganggu, maka akan defisit perdagangan Indonesia juga akan bisa memburuk. Ini bisa ke mana-mana imbasnya rupiah melemah lagi, CAD melebar dan investasi asing turun.
Indonesia tidak imun terhadap krisis. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti halnya negara-negara lain, mengalami kontraksi. Bahkan pertubuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan hanya akan mampu tumbuh 2,5 hingga 3 persen di tahun 2020.
Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) per Maret 2020 masih menunjukkan 113,8 yang menunjukkan masyarakat masih optimis terhadap perekonomian Indonesia. Namun IKK ini merupakan yang terendah sejak 2016. Menurunnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi mungkin dipengaruhi oleh semakin sempitnya ketersediaan lapangan kerja.Yang harus dijaga jangan sampai perbankan dan lembaga keuangan terimbas yang berakibat bangkrut, seperti yang terjadi pada 2008-2009.
Kuncinya adalah bagaimana respon kebijakan pemerintah dalam menghadapi situasi krisis kesehatan menjadi kunci utama untuk mencegah dampak ke perekonomian tak semakin mendalam.
*Penulis : Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu