Oleh : Anis Fauzan*
Sistem keuangan di Negara-negara asia, termasuk indonesia, telah mengalami perubahan yang berarti selama dekade 80-an sampai sekarang. Hampir semua negara di Asia melakukan liberalisasi sistem keuangan yang pada umumnya disertai dengan kelonggaran arus modal asing dan pengawasan devisa. Perubahan tersebut mendorong perubahan arah kebijakan moneter, memengaruhi antara permintaan uang, pendapatan dan suku bunga.
Beranjak dari apa yang diuraikan di atas jelas bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana surpuls of funds kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana lack of funds.
Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai.
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana yang dimilikinya.
Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Di Indonesia terkait perbankan diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 198 tentang Perbankan. Rumusan tentang bank terdapat pada Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa bank adalah sebuah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lain dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Di masa Pandemi
Dalam kondisi ancaman Pandemi global COVID-19 ini banyak sekali aktivitas perekonomian masyarakat terganggu. Perusahaan-perusahaan membatasi operasionalnya bahkan ada yang tutup sama sekali dalam waktu yang belum diketahui sampai kapan.
Area bisnis, mall, retoran, hotel, transportasi semuanya terdampak karena masyarakat harus berdiam diri di rumah masing-masing. Kebijakan Pembatasan sosial berskala besar PSBB yang diterapkan di Jakarta dan rencananya juga akan diterapkan di wilayah lain yang berada dalam zona merah penularan COVID-19 berimbas kepada perekonomian masyarakat.
Meskipun aktivitas bisnis dan perdangangan tetap berjalan dengan sistem online, akan tetapi tekanan COVID-19 ini cukup berat dan menghambat pertumbuhan ekomoni. Untuk megantisipasi itu pemerintah menerbitkan PERPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas untuk penangnan pandemi corona virus dissease 19 dan atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan atau stabilitas sistem keuangan.
Salah satu yang diatur dalam perpu ini mengenai pemberian stimulus untuk industri perbankan dan debitur terdampak COVID-19 yang secara teknis dijabarkan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical dampak penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Secara rinci, kebijakan stimulus relaksasi tersebut terdiri dari, Pertama, penilaian kualitas kredit atau pembiayaan maupun penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketetapan pembayaran pokok dan atau bunga untuk kredit sampai dengan 10 milyar. Singkatnya yang disasar adalah debitur kecil baik itu UMKM, non UMKM dan perorangan yang nilai kreditnya dibawah 10 miliar.
Kedua, restrukturisasi dengan peningkatan kualitas kredit atau pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan bank tanpa batasan platfon kredit, artinya boleh untuk debitur yg platfon kerditnya diatas 10 milyar.
Nah, sampai disini bisa kita simpulkan bahwa kebijakan pemerintah terkait relaksasi pembayaran cicilan kredit ini tidak hanya berlaku kepada debitur dengan kredit dibawah 10 miliar, hal ini juga berlaku terhadap debitur dengan jumlah kredit lebih besar lagi namun terdampak COVID-19.
Soal restrukturisasi
Kredit bermasalah atau nonperforming loan NPL merupakan resiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Resiko tersebut berupa keadaan di mana kredit tidak dapat dikembalikan tepat waktu. Kredit bermasalah itu bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor misalnya ada kesengajaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses kredit, kesalahan prosedur pemberian kredit, atau disebabkan oleh faktor lain seperti Pandemi COVID-19.
Kredit dengan kategori NPL adalah apabila kualitas kredit tersebut tergolong pada tingkat kolektibilitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Untuk masalah NPL ini pada umumnya bisa diatasi dengan langkah-langkah restrukturisasi berupa penurunan bunga kredit, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan bunga kredit, penambahan fasilitas kredit, dan atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Ada dua metode penyelesaian kredit bermasalah, Pertama, penyelamatan kredit. Kedua, Penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah adalah perundingan kembali antara Bank sebagai kreditur dan Nasabah sebagai Debitur, sedangkan penyelesaiakan kredit bermasalah adalah penyelesaian melalui lembaga hukum.
Yang dimkasud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia Piutang Negara PUPN dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara DJPLN, Lembaga Peradilan dan melalui arbitrase atau badan alternatif penyelesaian sengketa.
Mengenai penyelamatan kredit bermasalah bisa berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP yang dikeluarkan pada 29 mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum atau badan alternatif lainnya.
Ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk penyelamatan yaitu rescheduling (penjdwalan kembali) dengan cara melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berekenaan dengan jadwal pembayaran kembali atau jangka kredit, termasuk perubahan jumlah angsuran.
Yang berikutnya adalah Reconditioning (Persyaratan kembali) dengan cara melakukan perubahan sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian tanpa memberikan tambahan kredit dan tanpa melakukan konversi penyertaan. Kemudian yang terakhir adalah restrukturisasi (penataan kembali) dengan melakukan perubahan syarat-syarat kredit berupa pemberian tambahan kredit atau bisa juga dengan melakukan konversi penyertaan tanpa rescheduling dan reconditioning.
Nah, dalam menyelamatkan kredit di masa Pandemi ini pemerintah telah menetapkan unt menggunakan mekanisme restrukturisasi seperti diatur dalam POJK N0. 11/POJK.03/2020, meski reschedulling dan reconditioning juga tidak diharamkan, tergantung kepada selera dan pilihan debitur.
*Penulis Adalah Direktur Eksekutif CR 30 Indonesia.