
Dede Suryanto
Ketua Digital Financial Center (DFC) Program Vokasi Universitas Indonesia
Penjaminan kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi instrumen krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Dua negara yang menarik untuk dijadikan objek studi dalam hal ini adalah Malaysia dan Singapura. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama dalam mendukung UMKM, pendekatan dan tingkat perkembangan sistem penjaminan kredit mereka berbeda secara signifikan.
Malaysia dan Singapura telah menunjukkan kemajuan yang pesat dalam mengembangkan sistem penjaminan kredit yang inovatif dan efektif. Dasar pertimbangan observasi terhadap praktik penjaminan pada dua negara dikarenakan secara kedekatan geografis, sosial dan kultural berada pada zona ekonomi regional ASEAN. Tulisan semi riset ini akan mengeksplorasi praktik penjaminan kredit UMKM di dua negara tersebut, dengan fokus khusus pada penjaminan untuk penerbitan surat utang dan sukuk, serta bagaimana Indonesia dapat belajar dari praktik penjaminan dari kedua negara tetangganya, serta langkah strategis apa yang perlu dipersiapkan kedepan.
Praktik Penjaminan Kredit di Malaysia
Malaysia telah memimpin di kawasan ini dengan sistem penjaminan kredit yang matang dan inovatif, terutama untuk penerbitan surat utang dan sukuk oleh UMKM. Credit Guarantee Corporation Malaysia Berhad (CGC), yang didirikan pada tahun 1972, telah menjadi pionir dalam industri ini. CGC memiliki 7 skema penjaminan yang disesuaikan dengan fasilitas pembiayaan bank yang meliputi Credit Enhancer Scheme, Islamic Banking Guarantee Scheme, Direct Access Guarantee Scheme, Direct Access Guarantee Scheme – Islamic, Small Entrepreneur Guarantee Scheme, Flexi Guarantee Scheme, Franchise Financing Scheme. Saat ini CGC telah membantu lebih dari 470.000 UMKM dengan total pembiayaan yang dijamin melebihi RM78 miliar [1].
Pada tahun 2023, total nilai penjaminan kredit untuk UMKM di Malaysia mencapai RM35 miliar, meningkat 15% dari tahun sebelumnya [2]. Yang lebih mengesankan, Malaysia telah berhasil mengembangkan produk penjaminan khusus untuk penerbitan surat utang dan sukuk oleh UMKM. Program “BizMula-i” dan “BizWanita-i” dari CGC, misalnya, memberikan jaminan hingga 70% dari nilai penerbitan surat utang atau sukuk UMKM. Pada tahun 2023, total nilai jaminan yang diberikan melalui program ini mencapai RM2 miliar, meningkat 40% dari tahun sebelumnya [3].
Keberhasilan Malaysia dalam mengembangkan ekosistem yang mendukung ini tercermin dalam meningkatnya jumlah UMKM yang menerbitkan surat utang dan sukuk, yang naik 25% pada tahun 2023, dengan total nilai penerbitan mencapai RM5 miliar[4]. Faktor kunci keberhasilan Malaysia terletak pada regulasi yang komprehensif, inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar, dan kerjasama yang erat antara lembaga penjamin, regulator, dan lembaga keuangan.
Praktik Penjaminan Kredit di Singapura
Singapura, meskipun memiliki sistem penjaminan kredit yang lebih kecil dibandingkan Malaysia dan Indonesia, telah mengembangkan sistem penjaminan kredit yang sangat efisien dan inovatif untuk UMKM-nya. Enterprise Singapore, sebuah badan pemerintah, mengelola Enterprise Financing Scheme (EFS) yang menyediakan berbagai jenis penjaminan kredit untuk UMKM. Salah satu program unggulan mereka adalah Loan Insurance Scheme (LIS), yang memberikan penjaminan hingga 90% untuk pinjaman jangka pendek[5].
Pada tahun 2022, total nilai penjaminan kredit melalui EFS mencapai SGD 11,3 miliar, meningkat 20% dari tahun sebelumnya[6]. Yang menarik, Singapura juga telah mulai mengembangkan penjaminan untuk penerbitan surat utang oleh UMKM melalui inisiatif ASEAN+3 Multi-Currency Bond Issuance Framework (AMBIF). Meskipun skala penerbitan surat utang UMKM di Singapura masih relatif kecil dibandingkan Malaysia, dengan total penerbitan sekitar SGD 500 juta pada tahun 2022, pertumbuhannya cukup pesat, meningkat 30% dari tahun sebelumnya [7]. Keunggulan Singapura terletak pada pendekatan berbasis teknologi dalam penilaian risiko dan manajemen penjaminan, serta integrasi yang kuat dengan inisiatif regional.
Bagaimana Praktik Penjaminan Kredit di Indonesia?
Indonesia, meskipun masih dalam tahap awal pengembangan sistem penjaminan kredit untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM, memiliki potensi besar untuk pertumbuhan. Perusahaan penjaminan kredit seperti PT Jamkrindo dan perseroda Jamkrida di beberapa daerah, serta perusahaan penjamin lainnya lebih banyak berfokus pada penjaminan kredit sektor perbankan.
Saat ini Indonesia memiliki lembaga penjaminan kredit sebanyak 23 perusahaan, yang terdiri dari 3 perusahaan BUMN yaitu PT Jamkrindo, PT Jamkrindo Syariah dan PT Askrindo Syariah, kemudian sebanyak 18 perseroda penjaminan atau PT Jamkrida, dan 2 perusahaan penjaminan kredit swasta. Menurut laporan tahunan PT Jamkrindo tahun 2022, total nilai penjaminan kredit UMKM mencapai Rp 249,8 triliun, meningkat 15% dari tahun sebelumnya [8]. Namun, porsi penjaminan untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM masih sangat kecil, kurang dari 1% dari total penjaminan.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2022, hanya sekitar 50 UMKM yang telah menerbitkan surat utang atau sukuk melalui platform fintech securities crowdfunding (SCF), dengan total nilai penerbitan sekitar Rp 500 miliar [9]. Sementara itu data dari Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) sampai tahun 2024Q1 mencatat dana yang berhasil dihimpun oleh 655 UMKM Penerbit dari 172 ribu pemodal yaitu melalui surat utang (konvensional) sebesar Rp 34,79 miliar dan dana Sukuk sebesar Rp 508,24 miliar [10]. Terjadi peningkatan yang signifikan dari kenaikan jumlah Penerbit UMKM, namun angka ini masih jauh di bawah potensi sebenarnya, mengingat jumlah UMKM di Indonesia yang mencapai lebih dari 64 juta unit [11]. Meski demikian, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan sistem penjaminan kredit yang kuat, dengan belajar dari praktik terbaik Malaysia dan Singapura.
Menimba Ilmu dari Negeri Jiran
Indonesia dapat mengambil beberapa pelajaran penting dari praktik terbaik negeri jiran Malaysia dan Singapura dalam mengembangkan sistem penjaminan kredit yang lebih kuat, terutama untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM.
Pertama, dari Malaysia, Indonesia dapat belajar tentang pengembangan produk penjaminan yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan pasar lokal. Program BizMula-i dan BizWanita-i dari CGC Malaysia, misalnya, dapat menjadi model untuk pengembangan produk serupa di Indonesia. Perusahaan penjaminan kredit di Indonesia dapat mengembangkan produk penjaminan khusus untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM, dengan menyesuaikan persentase penjaminan dan struktur produk sesuai dengan profil risiko UMKM Indonesia.
Kedua, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan regulasi yang komprehensif seperti yang diterapkan di Malaysia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menyusun kerangka regulasi yang mendukung penjaminan kredit untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM, termasuk standar penilaian risiko, batas maksimum penjaminan, dan mekanisme pengawasan yang efektif.
Ketiga, dari Singapura, Indonesia dapat belajar tentang pemanfaatan teknologi dalam proses penilaian risiko dan manajemen penjaminan. Perusahaan penjaminan kredit di Indonesia dapat berinvestasi dalam pengembangan sistem teknologi informasi yang canggih untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam penilaian risiko UMKM.
Keempat, Indonesia juga dapat mengadopsi pendekatan Singapura dalam mengintegrasikan sistem penjaminan kredit dengan inisiatif regional seperti AMBIF, yang dapat membuka peluang bagi UMKM Indonesia untuk mengakses pasar modal regional atau dengan kata lain membuka akses modal asing seperti yang terjadi pada fintech P2P.
Langkah Strategis Implementasi
Untuk mengimplementasikan praktik terbaik tersebut, Indonesia perlu mengambil beberapa langkah strategis dengan mempertimbangkan kondisi dan regulasi yang ada saat ini.
Pertama, OJK perlu merevisi dan memperluas Peraturan OJK Nomor 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi dengan menyertakan syarat kepesertaan penjaminan untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM pada platform fintechSCF.
Revisi ini perlu mengatur ketentuan kepesertaan penjaminan untuk UMKM sebagai syarat untuk menjadi penerbit surat utang dan sukuk. Kemudian OJK juga perlu merevisi Peraturan OJK No 2/POJK.05/2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin yang mengatur skema penjaminan atas penerbitan surat utang dan sukuk. POJK dimaksud juga perlu menetapkan entitas fintech SCF selaku kuasa pemodal sebagai pihak penerima jaminan dalam skema penjaminan. Diharapkan kedua peraturan OJK tersebut sinkron dan dapat memberikan kejelasan dalam implementasinya di lapangan.
Kedua, Kementerian Keuangan dan Kementerian Kemenkop dan UKM dapat bekerjasama dalam mengembangkan insentif fiskal untuk mendorong partisipasi UMKM dalam penerbitan surat utang dan sukuk untuk menarik investor ke instrumen ini. Ini bisa mencakup pengurangan pajak untuk investor yang membeli surat utang atau sukuk UMKM yang dijamin. Bisa juga UMKM calon Penerbit diberikan insentif berupa subsidi Iuran Jasa Penjaminan (IJP) seperti pada program KUR pemerintah.
Ketiga, lembaga penjaminan kredit yaitu perusahaan-perusahaan penjaminan kredit perlu melakukan peningkatan kapasitas internal mereka dalam menilai risiko UMKM yang menerbitkan surat utang atau sukuk. Ini bisa dilakukan melalui program pelatihan intensif, sertifikasi, pemagangan, kerjasama dengan lembaga pemeringkat kredit, dan investasi dalam sistem teknologi informasi yang canggih.
Keempat, perlu dibentuk kerjasama antara perusahaan penjaminan kredit, Bursa Efek Indonesia, dan Penyelenggara fintech SCF untuk menciptakan mekanisme yang efisien dalam proses penerbitan dan penjaminan surat utang atau sukuk UMKM. Menurut isu yang berkembang, tidak akan lama lagi ada sebuah perusahaan penjaminan kredit yang akan menawarkan penjaminan atas surat utang dan sukuk kepada UMKM.
Kelima, pemerintah dan lembaga terkait perlu melakukan kampanye edukasi yang masif kepada UMKM dan investor potensial tentang peluang dan risiko dari instrumen pembiayaan ini. OJK dapat memperluas program “Sikapi Uangmu” untuk mencakup edukasi tentang investasi pada surat utang dan sukuk UMKM. Dengan mengambil langkah-langkah ini, Indonesia dapat memperkuat ekosistem penjaminan kredit untuk UMKM dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Kesimpulan
Meskipun Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dan Singapura dalam hal penjaminan kredit untuk penerbitan surat utang dan sukuk UMKM, ada potensi besar untuk pertumbuhan di sektor ini. Dengan belajar dari praktik terbaik kedua negara tetangganya dan mengadaptasinya sesuai dengan kondisi lokal, Indonesia dapat mengembangkan sistem penjaminan kredit yang kuat dan efektif. Ini tidak hanya akan membuka akses pembiayaan yang lebih luas bagi UMKM, tetapi juga akan memperdalam pasar modal Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Namun, keberhasilan ini akan bergantung pada komitmen jangka panjang dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, regulator, lembaga keuangan, dan pelaku pasar. Dengan pendekatan yang tepat dan eksekusi yang efektif, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin regional dalam penjaminan kredit UMKM di masa depan, memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di negara ini.
Referensi:
[1] Credit Guarantee Corporation Malaysia Berhad. (2023). Annual Report 2022.
[2] Bank Negara Malaysia. (2023). Financial Stability Review – First Half 2023.
[3] Securities Commission Malaysia. (2023). Capital Market Masterplan 3 (2021-2025) Progress Report.
[4] Ibid.
[5] Enterprise Singapore. (2023). SME Financing: Annual Report 2022.
[6] Monetary Authority of Singapore. (2023). Financial Stability Review 2023.
[7] ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO). (2023). ASEAN+3 Regional Economic Outlook 2023.
[8] PT Jamkrindo. (2023). Laporan Tahunan 2022.
[9] Otoritas Jasa Keuangan Indonesia. (2023). Laporan Perkembangan UMKM di Sektor Jasa Keuangan.
[10] Asosiasi Layanan urun Dana Indonesia (ALIDI) 2024.
[11] Kementerian Koperasi dan UKM RI. (2023). Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2018-2022.