
Badan Pemeriksa Keuangan
Jakarta – Pendapat hukum atau fatwa dari Mahkamah Agung (MA) terkait persyaratan calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah diterima Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 26 Agustus 2021.
Di dalam fatwanya, MA menekankan bahwa calon Anggota BPK harus memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Fatwa MA tersebut sesuai dengan permintaan Komisi XI kepada Pimpinan DPR RI, yang dimaksudkan untuk memperjelas status hukum dua orang calon yang diduga tidak memenuhi syarat (TMS). Kedua calon tersebut adalah Harry Z. Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana. Mereka diketahui belum dua tahun meninggalkan jabatan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA).
Di dalam Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, ditegaskan bahwa salah satu syarat calon Anggota BPK “paling singkat 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.”
Pakar hukum tata negara Denny Indrayana berpandangan bahwa seleksi Pimpinan BPK ini problematik dan seringkali menjadi lahan berbagi kursi di antara parlemen dan parpol.
“Akar masalahnya ada di moralitas berpolitik kita. Dan itu diperburuk dengan aturan konstitusi kita yang membuka ruang praktik yang tidak demokratis dan bahkan kolutif tersebut,” kata Denny di Jakarta, Sabtu (28/8/2021).
Karena itu, Denny menyarankan pemilihan Pimpinan BPK agar tetap mengacu pada undang-undang. Apalagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan pendapat hukum sebagaimana diminta Komisi XI, yang intinya agar persyaratan calon Anggota BPK merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 13 huruf j UU BPK.
“Syarat di dalam UU tentu wajib dipenuhi,” kata Denny menegaskan.
Senada dengan itu, Guru Besar Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf mengamini fatwa MA ihwal pelarangan Calon Anggota BPK yang tidak memenuhi syarat sesuai UU BPK.
“Hal itu sangat penting untuk mencegah menimbulkan conflict of interest atau konflik kepentingan saat terpilih,” ujar Asep, Sabtu (28/8/2021).
Asep menyimpulkan, ketatanegaraan terkait objektifitas UU BPK tak perlu lagi ditafsir karena sudah final. Asumsinya, Pasal 13 huruf j Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sudah jelas menyatakan bahwa calon anggota BPK minimal 2 tahun harus meninggalkan jabatan lama.
“Ada dua dalam penafsiran UU yakni subjektif dan objektif. Kalau objektif sudah jelas disebut minimal 2 tahun sebagai syarat formil ya harus dipatuhi oleh siapapun termasuk DPR,” katanya.
Menurut Asep, pembangkangan terhadap hukum lembaga negara adalah kejahatan serius. DPR, selaku lembaga pembuat UU, harus menjadi yang terdepan dalam kepatuhan terhadap regulasi yang diciptakan sendiri.
Kelakarnya, percuma DPR melakukan fit and profer test terhadap calon anggota BPK yang tidak memenuhi syarat formil. Karena, seluruh putusan DPR yang didasarkan pada pelanggaran UU nantinya juga akan batal demi hukum.
Pelanggaran syarat formil, kata Asep, akan menjadi objek hukum Tata Usaha Negara (TUN) dan akan dibatalkan oleh pengadilan. Dampaknya tidak hanya administratf, tetapi ada akibat pidana karena kerugian negara yang harus membiayai ulang proses rekruitmen calon anggota BPK.
“Seluruh Anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran hukum bisa diproses secara hukum yang bisa berakibat pada pemecatan sebagai anggota DPR,” pesannya.
Sementara itu, pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang mengatakan, DPR harus patuh dalam pelaksanaan UU BPK. Ia menjelaskan, pejabat pengelola keuangan negara itu adalah mereka yang berkedudukan dalam posisi pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, PPK, bendahara, dan pengawas internal.
“Bila calon anggota BPK tak memenuhi kualifikasi seharusnya DPR menolaknya,” katanya.
Patut diketahui, awal September ini Komisi XI DPR akan menggelar fit and proper test dan pemilihan calon Anggota BPK. Tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian terkait jadwal uji kepatutan tersebut.
Demikian pula belum ada keputusan mengenai status persyaratan Harry Z Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana, apakah dianulir atau diteruskan. (*)