
Pertemuan AJB Bumiputera dengan kelompok Pemegang Polis
Jakarta – Penetapan status Tersangka Eks Ketua BPA AJB Bumiputera 1912 Nurhasanah sebagai akibat tidak melaksanakannya Perintah Tertulis OJK S-13/D.05/2020 mendapatkan respon berbagai pihak. Mengapresiasi tindakan tegas OJK sebagai lembaga otoritas dalam menjalankan peranannya sebagai lembaga pengawasan.
Langkah demikian senantiasa menjadi barometer bagi penerapan pada Lembaga Jasa Keuangan lainnya agar upaya perlindungan terhadap Pemegang Polis selaku Konsumen dapat terjamin sebagaimana amanat dalam Undang-undang 40 Tahun 2014 maupun Undang-undang 21 Tahun 2011.
“Saya katakan, mungkin penetapan BPA atau saya sebagai tersangka, ini proses untuk (saya) membongkar semua yang terjadi di Bumiputera”, ungkap Nurhasanah pada Bisnis (19/3) atas niatnya akan membongkar semua yang terjadi di AJB Bumiputera.
Ketua Tim Advokasi dan Contingency Plan Serikat Pekerja (SP) NIBA AJB Bumiputera 1912, F. Ghulam Naja, menyatakan mendukung langkah berani Nurhasanah membongkar semua yang terjadi di AJB Bumiputera 1912.
“Karena permasalahan yang terjadi semuanya berawal dari tata kelola perusahaan yang tidak baik, dimulai dari komitmen Organ Perusahaan dalam mengimplementasikan ketentuan Anggaran Dasar secara konsisten dan amanah”, ungkap Ghulam Naja melalui rilis tertulis yang diterima pada Selasa (23/3/2021).
AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya perusahaan Asuransi jiwa bahkan perusahaan berbentuk Usaha Bersama yang berdiri dan masih eksis di Indonesia. Sejak berdiri pada tanggal 12 Februari 1912 di Magelang, AJB Bumiputera 1912 baru diakui sebagai badan hukum Usaha Bersama pada tahun 1992 melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992. Selanjutnya kegiatan operasional Usaha Bersama sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang tersebut belum pernah lahir hingga terbit Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 bahkan hingga saat ini.
Sejatinya Usaha Bersama telah diberikan payung hukum dalam kegiatan operasional pada tahun 2019 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019, namun pada tanggal 14 Januari 2021 saat Putusan Mahkamah Konstitusi RI dibacakan sebagai hasil permohonan Judicial Review atas UU Nomor 40 Tahun 2014 terhadap UUD 1945 oleh Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 diputuskan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
AJB Bumiputera 1912 merupakan asset bangsa Indonesia yang patut dilestarikan di Indonesia, karena selain mempunyai histori sejarah juga prinsip gotong royong yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia sebagaimana amanat dari Pasal 33 UUD 1945.
Identitas yang melekat pada Usaha Bersama dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat melalui produk-produk asuransinya sudah tidak diragukan lagi, terlebih dengan produk Asuransi Pendidikan yang dapat dijangkau dan dinikmati hingga masyarakat menengah ke bawah. AJB Bumiputera 1912 sebagai Usaha Bersama selama ini telah memberikan manfaat besar bagi bangsa Indonesia baik dalam perekonomian nasional, penyediaan lapangan kerja, bahkan kontribusi pendapatan Negara.
Dengan kondisi demikian maka sudah terang penanganan AJB Bumiputera 1912 harus cepat dan mendesak serta tidak dapat lagi ditunda, sesuai ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (4) POJK No. 41/POJK.05/2015 Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi harus tegas dan berani menerbitkan kebijakan dengan mengusulkan penetapan Pengelola Statuter terhadap AJB Bumiputera 1912, hal tersebut guna menjaga wibawa Pemerintah melalui pembentukan lembaga OJK melalui UU 21 Tahun 2011 juga guna memberikan kepastian hukum dan jaminan kepentingan ribuan Pemegang Polis serta sektor Jasa Keuangan”, tambah Ghulam Naja.
Pengamat Asuransi Diding S. Anwar menegaskan bahwa Usaha Bersama prakteknya harus sesuai dengan prinsip mutual secara universal yang tumbuh dan berkembang di dunia, harus dilakukan restorasi mutual/UBER sesuai prinsip yang baik dan benar.
“Tidak kalah penting memohon kehadiran Negara dan political will pemerintah, serta kesungguhan dari lembaga yang berkompeten dan berwenang, untuk menjaga dan mengawal eksistensi Usaha Bersama untuk kepentingankesejahteraan masyarakat Indonesia”, ungkap Diding.
Diding menjelaskan, AJB Bumiputera 1912 merupakan perusahaan bisnis yang mempunyai Organ Tertinggi bernama Badan Perwakilan Anggota (BPA). Anggota BPA merupakan wakil dari Anggota/Pemegang Polis yang tersebar dalam 11 Daerah Pemilihan di seluruh Indonesia.
“BPA berperan dalam menentukan pokok-pokok kebijaksanaan AJB Bumiputera 1912 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 Ayat (1) Anggaran Dasar. BPA melaksanakan peranannya melalui Sidang BPA, dimana Sidang BPA diselenggarakan 2 kali dalam setahun dalam bentuk Sidang Tahunan. Selain Sidang Tahunan, Anggota BPA dapat menyelenggarakan Sidang Luar Biasa guna memutuskan hal-hal tertentu selain agenda Sidang Tahunan”’ jelasnya.
Karakteristik Usaha Bersama ini sesungguhnya sama dengan praktek badan hukum Koperasi, dimana Koperasi mempunyai Organ Tertinggi bernama Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang berwenang menentukan pokok-pokok kebijaksanaan Koperasi. Keputusan RAT selanjutnya dilaksanakan oleh Pengurus dengan pengawasan dilakukan oleh Pengawas. Peserta RAT dalam Koperasi menyelenggarakan Rapat 2 kali dalam setahun serta setiap saat dapat menyelenggarakan Rapat Anggota Luar Biasa dalam hal kondisi tertentu.
Peserta Rapat Anggota pada Koperasi artinya hadir hanya pada agenda tertentu dan bukan setiap hari, oleh karenanya haknya hanya berupa uang representasi kehadiran. Seperti halnya Usaha Bersama, dalam setiap penyelenggaraan Sidang BPA Anggota BPA hanya diberikan hak berupa Uang Representasi, hal tersebut diatur dalam Pasal 22 Anggaran Dasar.
“Jika Nurhasanah berencana membongkar semua yang terjadi di AJB Bumiputera 1912 merupakan langkah berani yang patut didukung seluruh pihak. Membongkar praktek-praktek yang tidak lazim dimulai dari Anggota BPA yang menerima gaji sejak kapan semuanya harus dibongkar dan diminta untuk dikembalikan kepada AJB Bumiputera 1912”, ungkapnya.
Karena representasi hak gaji tidak tercermin dalam ketentuan Anggaran Dasar. Jika kemudian ditemukan terdapat ketentuan lain yang tidak memiliki korelasi dengan ketentuan Pasal 22 Anggaran Dasar, justru hal tersebut telah melegitimasi aturan, atau dengan kata lain membuat seolah-olah hak tersebut sah karena tertuang dan disahkan dalam Akta Notaris sedangkan hak tersebut hakekatnya bukan cerminan dari hak yang diatur dalam Pasal 22 Anggaran Dasar.
“Praktek-praktek demikian bisa jadi berdampak besar pada kondisi penurunan asset Usaha Bersama yang terjadi hingga saat ini. Belum lagi kegiatan operasional yang dijalankan oleh Direksi apakah sudah dilakukan pengawasan dengan baik oleh Dewan Komisaris. Mengingat banyak praktek-praktek tidak GCG yang terjadi namun dalam Sidang Tahunan BPA adem-adem saja dan tidak terdapat tindak lanjut yang konkret”, tambahnya.
Ia mencontohkan, seperti halnya Ketua BPA dalam pernyataannya yang mempermasalahkan Pengelola Statuter sebelumnya saat dikeluarkan oleh Kepala Eksekutuf Firdaus Djaelani pada tahun 2016 lalu telah turut serta mengakibatkan kondisi AJB Bumiputera 1912 hingga seperti sekarang ini. Jika memang demikian, Anggota BPA pada saat itu berpihak pada penyelamatan AJB Bumiputera 1912 serta Pemegang Polis dan pemangku kepentingan lainnya, seharusnya sudah melakukan upaya hukum sedari awal.
“Membongkar kejadian di tubuh AJB Bumiputera 1912 harus menyeluruh, clear and clean dan jangan pilah pilih. Termasuk upaya BPA yang telah mengangkat beberapa kali Dewan Komisaris dan Direksi yang mengakibatkan Organ Perusahaan tidak dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan tata kelola perusahaan yang baik”, tegasnya.
Sermentara itu, Rizky Yudha Pratama, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Pekerja (SP) NIBA AJB Bumiputera 1912 menyatakan, kemelut yang terjadi di AJB Bumiputera 1912 hendaknya jangan terlalu lama dibiarkan.
“hal ini mutlak diperlukan campur tangan langsung Pemerintah sehingga nasib AJB Bumiputera 1912 yang terdapat di dalamnya ribuan Pemegang Polis, Pekerja, Agen, serta Tenaga Outsourcing, butuh kepastian hukum atas penyelesaian permasalahan yang terjadi”,kata Rizky.