
Jakarta – Draf RUU Cipta Lapangan Kerja yang berisi 1028 halaman dinilai penuh kontroversial. Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panasbumi Indonesia (ADPPI) Hasanuddin turut menyoroti pasal-pasal dalam RUU tersebut.
Hasanuddin menyampaikan apresiasi kepada pemerintah berkenaan dengan Draft RUU Cipta Kerja yang juga memasukkan sumber daya alam terbarukan panas bumi sebagai bagian dari bidang usaha yang menjadi fokus penyederhanaan dalam penyelenggaraan pengusahaannya dalam RUU tersebut.
“Karena persoalan kemudahaan berusaha dan kepastian hukum telah menjadi bagian persoalan ketidakpastian pengusahaan panas bumi selama ini, baik pemanfaatan langsung, maupun tidak langsung”, ungkap Ketua Umum ADPPI lewat rilisnya di Jakarta, Jumat (21/2).
Diantaranya, dalam pemanfaatan langsung hingga kini belum terbit peraturan pemerintah (PP) berkenaan dengan pemanfaatan langsung, dan dalam pemanfaatan tidak langsung persoalan kebijakan skema tarif penjualan energi listrik yang berubah-ubah, panjang dan berbelit-belit.
“Di dalam Draft RUU Cipta Kerja diharapkan persoalan tersebut dapat dipecahkan, namun pada kenyataannya justru tidak disederhanakan dan memberikan kepastian”, tambahnya.
Bahkan, didalam pengusahaan pemanfataan langsung (Wisata, dllsb) kewenangan penyelenggaran pengusahaan panasbumi untuk pemanfaatan langsung, yang semula (berdasarkan UU 21 Tahun 2014 tentang Panasbumi) dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), kini diambil alih oleh pemerintah pusat.
Hasanuddin juga menambahkan pada pemanfataan ini, peran pemerintah daerah justru sangat membantu dalam penyelenggaraannya, karena tidak mungkin pemerintah pusat dapat menyelenggarakan pengusahaannya secara operasional. Hal ini bertentangan dengan asas kemudahaan berusaha dari RUU Cipta Kerja.
“Oleh sebab itu, ADPPI meminta dalam Draft RUU Cipta Kerja di Bidang Panasbumi, pihak Pemerintah Pusat mempertegas pendelegasian pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung kepada pemerintah daerah, baik penyelenggaraan perijinan, maupun pembinaan dan pengawasan. Dan dalam hal Pemanfaatan tidak langsung, pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan, dan mempertegas kebijakan skema tariff serta memotong rantai panjang dan berbelit-belit dalam energy sales contract (ESC)”, pungkasnya.