 
        AJB Bumiputera
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan lima perintah tertulis untuk Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera. Perintah tertulis itu ditujukan untuk direksi, dewan komisaris maupun Rapat Umum Anggota (RUA).
Lima perintah tertulis sendiri diterbitkan seiring belum dapat disetujuinya rencana penyehatan keuangan (RPK) AJB Bumiputera (AJBB) 1912 yang diajukan oleh manajemen. Penolakan rencana penyehatan keuangan itu sendiri telah disampaikan OJK dalam surat terpisah sehari sebelumnya. Menurut OJK, rencana keuangan yang diajukan tidak memenuhi aspek keberlanjutan perusahaan.
Bagian akhir perintah tertulis OJK kepada AJB Bumiputera. Perusahaan diberi batas waktu hingga 23 Desember 2020 untuk menyampaikan rencana kerja penyehatan jika sebelumnya pada September 2020 Rapat Umum Anggota memutuskan melanjutkan keberadaan perusahaan./Bisnis
Dalam Perintah Tertulis No. S-13/D.05/2020, tertanggal 16 April 2020 itu ditegaskan, manajemen harus memenuhi perintah tertulis OJK. Hal ini terkait peran otoritas untuk melindungi kepentingan konsumen, pemegang polis, dan/atau tertanggung.
“Segera menginformasikan kepada para pemegang polis mengenai kondisi terkini AJBB, termasuk hak dan kewajiban pemegang polis sehubungan dengan bentuk badan usaha bersama AJB Bumiputera sebagai usaha bersama, meliputi mekanisme pembagian laba dan kerugian yang dibebankan kepada Anggota sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Perusahaan,” ulas poin pertama perintah tertulis.
Selanjutnya, dalam poin kedua perintah tertulis disebutkan manajemen harus mengimplementasikan ketentuan Pasal 38 Anggaran Dasar AJBB, yang harus dilaksanakan oleh organ rapat umum anggota (RUA), direksi dan dewan komisaris paling lambat tanggal 30 September 2020.
“Sesuai pasal 38 Anggaran Dasar AJB Bumiputera dimaksud, dalam hal AJBB mengalami kerugian yang tidak dapat ditutupi dengan Dana Cadangan Umum dan Dana Jaminan, RUA menyelenggarakan Sidang Luar Biasa guna memutuskan apakah AJBB dilikuidasi atau dilanjutkan berdirinya dengan mempertahankan bentuk usaha bersama atau merubah bentuk badan usaha lainnya,” ulas poin 2.
OJK menegaskan jika AJBB memutuskan kelanjutan usahanya, maka kerugian yang sedang ditanggung perusahaan harus dibagi secara prorata diantara para anggota dengan cara yang ditetapkan dalam sidang RUA.
“Dalam melaksanakan amanat pasal 38 Anggaran Dasar AJB Bumiputera, apabila RUA memutuskan untuk melanjutkan berdirinya AJBB, baik dalam bentuk usaha bersama atau mengubah bentuk badan hukum (demutualisasi), maka OJK memberikan kesempatan kepada AJBB menyampaikan rencana penyehatan keuangan (RPK) yang lebih comprehensive dan realistis serta konsisten dengan hasil keputusan RUA dimaksud,” ulas poin 3.
Sementara itu Dewan Komisioner Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa keuangan lainnya Riswinandi menjelaskan dalam perintah tertulisnya, Rencana penyehatan yang disampaikan antara lain meliputi merencanakan penjualan produk asuransi yang tidak menjanjikan imbal hasil pasti atau garansi.
“RPK juga perlu dilengkapi dengan dokumen pendukung kerja sama yang konkret dengan mitra bisnis seperti manajer investasi, bank dan pengembang properti,” penjelasan poin 3.
Rencana penyehatan keuangan untuk mempertahankan eksistensi AJBB ini harus disampaikan kepada OJK paling lambat 23 Desember 2020.
Selanjutnya, Riswinandi memerintahkan AJB Bumiputera tidak menjual produk-produk baru asuransi ataupun menerbitkan polis baru yang menjanjikan imbal hasil investasi terhitung sejak tanggal perintah tertulis.
“Tidak menjual dan melakukan optimalisasi aset AJB Bumiputera sampai dengan disetujuinya RPK AJBB sebagaimana dimaksud dalam poin 3 di atas,” tegas Riswinandi dalam suratnya.
Riswinandi, menegaskan, terkait perintah OJK terhadap AJB Bumiputera ini harap dilaksanakan.
“Perlu kami tegaskan bahwa terdapat ketentuan pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-undang No.21 tentang Otoritas Jasa Keuangan,” tegasnya.
Sebelumnya AJB Bumiputera telah mengirimkan penyampaian Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) AJB Bumiputera perbaikan serta rapat-rapat pembahasan atas RPK AJBB terakhir tanggal 6 Maret 2020 di kantor OJK.
Dalam surat OJK No. S-12/D.05/2020, tertanggal 15 April 2020 menilai langkah-langkah penyehatan sebagaimana tertuang dalam RPK AJBB perbaikan dimaksud belum memadai dan belum dapat mengatasi permasalahan likuiditas solvabilitas dan profitabilitas
OJK juga meminta perusahaan memperhatikan kondisi nasional dan global yang kurang kondusif sebagai dampak peningkatan penyebaran Covid-19. Selain itu OJK meminta AJBB melakukan evaluasi dampak Covid- 19 dimaksud terhadap AJBB dan menyampaikan rencana tindak lebih lanjut paling lambat tanggal 30 Juni 2020
KONDISI PERUSAHAAN
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama Dirman Pardosi menyebutkan keuangan perusahaan dalam kondisi tersulit. Tidak ada cukup uang yang dimiliki perusahaan untuk membayar klaim tunai.
Dirman Pardosi menyebutkan sejumlah upaya telah dilakukan manajemen. Meski begitu, saat ini kesulitan likuiditas terus mendera perusahaan sehingga tidak memungkinkan memenuhi klaim yang masuk.
“[Secara total] ada yang sudah dibayar namun sangat kecil dibanding total kewajiban,” kata Dirman, Selasa (7/4/2020) lalu dikutip Bisnis.com.
Menurutnya, saat ini tumpukan klaim mencapai Rp4,8 triiun. Jumlah ini akan terus bertambah seiring polis jatuh tempo pada tahun ini. Diperkirakan klaim jatuh tempo pada tahun ini mencapai Rp5,4 triliun.
“Hanya Rp100 miliar [yang terbayarkan sejauh ini] dan OS klaim [klaim jatuh tempo Bumiputera] saat ini sudah Rp4,8 triliun,” katanya.
Dalam kesempatan lainnya Dirman mengatakan salah satu solusi pelunasan klaim nasabah dengan melakukan optimalisasi aset. Langkah yang dilakukan yakni dengan menjual sebagian aset-aset yang bernilai tinggi serta melakukan kerjasama operasi untuk aset lainnya.
Namun dengan penolakan OJK atas rencana penyehatan kekuangan yang diajukan Dirman, maka ia harus menyampaikan kepada pemegang polis; apakah bentuk perusahaan bersama satu-satunya di Indonesia ini akan dilanjutkan? Jika dilanjutkan, siapkah pemegang polis berbagi rugi atas kondisi Perusahaan?

 
                         
         
         
         
         
         
        