
Mewujudkan Diplomasi Ekonomi yang Berhikmah, Berkeadilan, dan Kolaboratif di Era Ketidakpastian Global
Tulisan kecil ini mengkaji dinamika kebijakan tarif resiprokal yang diusung oleh Amerika Serikat pada era Presiden Donald Trump sebagai studi kasus penting dalam memahami dampak kebijakan proteksionis terhadap perdagangan global.
Dilandasi perspektif ekonomi, hubungan internasional, serta nilai-nilai etika dan spiritual, tulisan ini mengangkat konsep “Smart Reciprocity” sebagai pendekatan alternatif yang adil dan berkelanjutan. Artikel ini menawarkan pelajaran kebijakan (lesson learned) serta rekomendasi pertimbangan alternatif solusi strategis bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, agar mampu mengambil posisi bijak dan maslahat dalam menghadapi tekanan ekonomi global.
Resiprokal Antara Harapan dan Kenyataan
Konsep resiprokal (reciprocity) adalah prinsip universal yang menjunjung keseimbangan, keadilan, dan kerja sama.
Dalam berbagai bidang, ekonomi, hukum, sosial, bahkan agama, resiprokal dikenal sebagai semangat timbal balik yang positif: “saya memberi, Anda memberi”, atau “saya menghormati, Anda menghormati”. Resiprokal seharusnya menjadi jembatan penghubung, bukan tembok pemisah.
Namun dalam praktiknya, terutama di era Presiden Donald Trump dengan kebijakan “tarif resiprokal”, prinsip ini kerap bergeser menjadi alat tekanan ekonomi. Tujuan awal untuk menciptakan keadilan perdagangan global justru mengarah pada ketegangan internasional, kenaikan harga barang, dan ketidakpastian rantai pasok global.
Ketika Resiprokal Berubah Menjadi Senjata Ekonomi
Pemerintah AS, dalam kebijakan “America First”-nya, menaikkan tarif impor untuk negara mitra dagang seperti Tiongkok dan Meksiko. Tujuannya jelas: melindungi industri dalam negeri. Namun langkah ini memicu respons balasan dari negara-negara lain, menciptakan spiral resiprokal yang mengarah pada perang dagang.
Dampaknya tak hanya dirasakan di Washington atau Beijing. Konsumen global merasakan kenaikan harga barang. Perusahaan multinasional terdampak karena harus memindahkan pabrik atau menyusun ulang rantai pasok. Negara berkembang yang bergantung pada ekspor ke AS pun ikut terguncang.
Resiprokal: Konsep Asli yang Bernilai Kebaikan
Awalnya, konsep resiprokal lahir sebagai nilai luhur: membangun kepercayaan, kerja sama, dan pertukaran adil. Dalam Agama, prinsip ini selaras dengan kaidah “la darar wa la dirar” (tidak boleh membahayakan dan tidak dibalas dengan bahaya), serta filosofi maqasid al-syari’ah, yaitu keadilan, maslahat, dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan.
Dalam konteks global, resiprokal yang sejati berarti kerja sama lintas negara berdasarkan rasa hormat dan keseimbangan kepentingan.
Sayangnya, saat prinsip ini dimanfaatkan untuk aksi unilateralisme dan dominasi ekonomi, nilainya berubah menjadi alat tekanan yang kontraproduktif.
Solusi Elegan: Smart Reciprocity
Dunia membutuhkan pendekatan baru: Smart Reciprocity, yaitu prinsip resiprokal yang cerdas, proporsional, dan berbasis keadilan. Langkah-langkah konkret yang dapat diambil antara lain:
Menghindari kebijakan balas dendam yang merugikan semua pihak.
Mendorong kerja sama multilateral melalui WTO, ASEAN, APEC, dan G20.
Membangun koalisi Selatan-Selatan untuk memperkuat posisi negara berkembang.
Diversifikasi mitra dagang dan penguatan industri nasional agar lebih tahan terhadap guncangan global.
Mengembangkan standar keadilan global berbasis keseimbangan kapasitas ekonomi, bukan semata-mata simetri tarif.
Hikmah Spiritual: Sabar dan Bijak Menghadapi Tekanan Global
Tekanan ekonomi global bukan akhir dari segalanya.
Dalam Agama, kita diajarkan untuk bersabar dan terus berikhtiar:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5–6)
“Ajaib urusan orang beriman… jika mendapat kesusahan dia bersabar, itu baik baginya.”
(HR. Muslim)
Dengan prinsip ini, kita tetap tegar dan positif dalam menghadapi tantangan global.
Policy Brief Rekomendasi Pertimbangan untuk Pemangku Kebijakan Indonesia
Indonesia sebagai negara besar dengan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, harus bijak menyikapi ketegangan dagang global. Pemerintah yang dipimpin Presiden Prabowo diharapkan tidak menempuh jalan konfrontasi, namun memilih solusi win-win yang membangun dan maslahat.
Rekomendasi Pertimbangan kebijakan
Hindari langkah resiprokal konfrontatif yang memicu pembalasan.
Kembangkan diplomasi dagang berbasis keadilan dan kerja sama regional.
Perkuat ketahanan ekonomi nasional melalui industrialisasi dan teknologi.
Dorong pendekatan diplomatik yang hikmah, adil, dan inklusif.
Gunakan prinsip Agama dalam kebijakan perdagangan: menjaga kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Insya Allah Pemerintah Indonesia senantiasa mendapatkan inspirasi yang hikmah, dan mengambil kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan umat dan stabilitas dunia.
Dari Tembok Pemisah ke Jembatan Penghubung
Resiprokal bukan musuh, tapi harus dimaknai kembali sebagai jembatan peradaban, bukan senjata ekonomi. Dengan pendekatan Smart Reciprocity, dunia dapat keluar dari ketegangan menuju tata perdagangan global yang berkeadilan, berkelanjutan, dan bermartabat.
Mari kita rawat prinsip resiprokal dengan akhlak, akal sehat, dan semangat kerja sama demi masa depan umat manusia.
Referensi
- Reinhardt, E. R., & Rogoff, K. S. (2017). Brookings Institution.
Studi tentang dampak kebijakan tarif Trump terhadap harga konsumen dan pasar global. - World Trade Organization (WTO). (2023). G20 Trade Monitoring Report.
Soroti lonjakan proteksionisme dan pentingnya keterbukaan dagang. - IMF. (2023). World Economic Outlook.
Risiko fragmentasi ekonomi akibat ketegangan geopolitik. - World Bank. (2024). Global Trade Watch.
Fokus pada reformasi resiprokal untuk keadilan dan ketahanan. - OECD. (2022). Trade Vulnerabilities Post-COVID-19.
Kebutuhan respons kebijakan yang inklusif dan adil. - Amartya Sen (2022). Justice and Global Trade.
Keadilan substantif dalam perdagangan internasional. - Brookings Institution. (2021). Rethinking Reciprocity.
Ajakan untuk menjadikan resiprokal sebagai alat kolaborasi. - UNCTAD. (2023). South-South Trade & Cooperation.
Strategi negara berkembang untuk memperkuat posisi global. - Friedman, T.L. (2005). The World is Flat.
Globalisasi menuntut keterbukaan dan kerja sama, bukan isolasi. - Al-Qur’an dan Hadis.
Landasan spiritual Islam dalam menghadapi krisis dengan sabar dan maslahat.
Kiranya tulisan kecil ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan diskusi konstruktif lebih lanjut sehingga memberikan kontribusi berharga bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
Tabayyun.
Wallahu A’lam Bhisawab.
Jazakumullah khairan katsiran.
Fastabiqul khairat.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Disusun dari berbagai sumber referensi oleh:
Diding S Anwar