
Pengamat Asuransi dan Penjaminan Diding S Anwar
Dalam setiap kecelakaan yang merenggut nyawa di jalan raya atau angkutan penumpang umum (kendaraan di darat dalam dan luar kota, Kereta Api, Sungai / Danau / Feri / Penyebrangan, Laut dan Udara), satu hal yang paling dinanti oleh keluarga korban bukan hanya santunan, tetapi kehadiran negara.
Dan selama hampir enam dekade, nama Jasa Raharja telah menjadi simbol hadirnya negara di tengah duka: dalam sunyi rumah sakit, rumah duka, dan titik kejadian.
Jasa Raharja bukan sekadar BUMN. Ia adalah pelaksana amanah Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Umum dan UU No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Melalui dua regulasi inilah negara membangun sistem asuransi sosial wajib yang memberikan perlindungan dasar kepada seluruh rakyat Indonesia yang menjadi korban kecelakaan.
Namun, zaman telah berubah. Tantangan sosial, beban hidup, dan persepsi publik menuntut reformasi pelayanan asuransi sosial nasional, agar tetap relevan, berpihak, dan bermartabat.
Tidak cukup hanya hadir, negara harus hadir dengan cepat, tepat, dan menguatkan.
Sudah Saatnya Meninggalkan Pola “Delay, Deny, Defend”
Masih ada pola pelayanan publik yang tanpa disadari menganut pendekatan usang: Delay, Deny, Defend.
Delay, Menunda pencairan santunan dengan alasan administratif.
Deny, Menolak klaim karena dokumen tidak lengkap, meskipun secara substansi korban berhak.
Defend, Bertahan pada prosedur ketika masyarakat mengajukan keberatan, alih-alih mencari solusi.
Pola ini bukan hanya menjauhkan negara dari rakyatnya, tapi juga menjadikan korban sebagai “tersangka administratif”. Empati hilang dari sistem yang sejatinya hadir untuk melindungi.
Prinsip Pelayanan Prima Asuransi Sosial 5T
Kini saatnya Jasa Raharja (dan seluruh institusi sosial) menegakkan prinsip 5T sebagai kompas moral dan profesionalisme pelayanan:
1. Tepat Orang, Santunan sampai kepada ahli waris yang sah, tanpa mempersulit.
2. Tepat Waktu, Tidak ada penundaan. Duka tidak bisa menunggu.
3. Tepat Tempat, Layanan hadir di lokasi kecelakaan, rumah sakit, dan rumah duka.
4. Tepat Manfaat, Besaran santunan harus relevan dengan beban hidup dan nilai kemanusiaan.
5. Tepat Administrasi, Tata kelola tetap akuntabel, tetapi tidak birokratis. Digitalisasi justru harus mempercepat, bukan menghambat.
5T bukan sekadar slogan, melainkan standar etika pelayanan publik yang berpihak pada kemanusiaan.
Santunan Sudah 9 Tahun Tidak Naik—Apa Kita Tidak Berikhtiar ?
Terakhir kali besaran santunan Jasa Raharja dinaikkan adalah berdasarkan:
PMK No. 15 dan No. 16/PMK.010/2017 tanggal 13 Februari 2017, tentang Besaran Santunan dan Besaran Iuran Wajib Penumpang Umum & Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Dalam regulasi tersebut, ditetapkan antara lain:
Santunan meninggal dunia sebesar Rp50 juta untuk korban kecelakaan lalu lintas dan penumpang umum.
Santunan cacat tetap maksimal sebesar Rp50 juta.
Biaya perawatan maksimal sebesar Rp20 juta.
Biaya penguburan untuk korban tidak dikenal sebesar Rp4 juta.
Santunan pengganti penghasilan dan bantuan ambulance antara Rp1 juta hingga Rp500 ribu.
Namun hingga 2025, belum ada penyesuaian nilai santunan baru, sementara:
Biaya pengobatan, pemakaman, dan kehidupan pascakecelakaan meningkat tajam,
Inflasi berjalan terus menggerus nilai manfaat,
Beban ekonomi dan psikososial keluarga korban semakin kompleks.
Sebagai pelaksana amanah UU No. 33 dan 34 Tahun 1964, bukankah kita, pemerintah, pemangku kebijakan, dan masyarakat, memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk berikhtiar menyesuaikan nilai santunan tersebut?
Santunan dari negara bukan sekadar dana. Ia adalah pengakuan atas penderitaan, penghormatan atas kehilangan, dan pemulihan atas martabat yang terguncang. Maka, menaikkan besaran santunan bukan hanya kebijakan, melainkan juga tindakan kemanusiaan dan keadilan sosial.
Asuransi Sosial Harus Melampaui Uang: Ia Adalah Wajah Negara
Ketika rakyat mengalami musibah, mereka tidak hanya membutuhkan angka, tetapi juga sentuhan negara yang nyata, menenangkan, dan menguatkan. Di situlah peran Jasa Raharja menjadi sangat penting: hadir bukan sebagai birokrat, melainkan sebagai pelayan kemanusiaan.
Melalui reformasi layanan, peningkatan nilai santunan, dan penerapan prinsip 5T, Jasa Raharja akan terus menjadi lembaga yang relevan, bermartabat, dan berpihak pada rakyat kecil dalam lanskap perlindungan sosial nasional yang modern dan adil.
Dari Amanah Menuju Peradaban
Kini saatnya kita membuktikan bahwa Jasa Raharja bukan sekadar penyedia santunan, melainkan:
Penjaga martabat rakyat,
Simbol hadirnya negara yang peduli, dan
Garda terdepan dalam sistem perlindungan sosial nasional yang beradab.
“Jasa Raharja bukan hanya penyedia santunan, tapi wajah negara yang menguatkan rakyat di saat paling lemah.”
Kiranya tulisan ini menjadi pengingat dan seruan lembut, bahwa berikhtiar menaikkan santunan dan memperbaiki pelayanan adalah bagian dari tugas suci negara dalam memuliakan warganya yang sedang dalam duka.
Salam Keadilan Sosial.
Salam Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas.
Fastabiqul khairat
Berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Di tulis oleh:
Diding S. Anwar
Wakil Ketua Umum Badan Pengurus PusatGabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (BPP GAPENSI).
Ketua Bidang Penjaminan Kredit UMKM & Koperasi RGC FIA UI.
Ketua Komite Tetap Penjaminan, Asuransi, Dana Pensiun KADIN Indonesia Bidang Fiskal, Moneter, Industri Keuangan (FMIK).
Ketua Pelaksana Lembaga Sertifikasi Badan Usaha – Gamana Krida Bhakti.