
Jasa Raharja adalah simbol tanggung jawab sosial Negara dalam melindungi masyarakat dari risiko kecelakaan lalu lintas melalui mekanisme Iuran Wajib (IW), Sumbangan Wajib (SW), dan pemberian santunan.
Identitas sakral ini mencerminkan semangat gotong royong dan tanggung jawab sosial yang berbeda dari asuransi komersial berbasis profit oriented.
Dalam menghadapi tantangan implementasi Compulsory Third Party Liability (TPL), menjaga sakralitas IW, SW, dan santunan menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan peran unik Jasa Raharja sebagai pilar perlindungan sosial yang membanggakan.
Izin, tulisan ini sebagai bahan renungan berkenaan perbedaan mendasar antara Jasa Raharja dan asuransi komersial, termasuk proses penyusunan UU No. 33 dan 34 Tahun 1964 yang berlandaskan pendekatan social security, serta urgensi menjaga dan mengawal nilai nilai luhur IW, SW, dan santunan sebagai warisan tak tergantikan.
Proses Penyusunan UU No. 33 dan 34 Tahun 1964 sebagai landasan social security, pada awal pembentukannya, penyusunan UU No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan UU No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan mengadopsi pendekatan social security.
Pendekatan ini didasarkan pada prinsip gotong royong, di mana masyarakat secara kolektif berkontribusi melalui IW dan SW untuk memberikan perlindungan bagi korban kecelakaan. Sistem ini dirancang bukan sebagai asuransi komersial, melainkan sebagai wujud nyata kehadiran Negara untuk melindungi warganya.
IW dan SW: Pilar Gotong Royong Sosial.
Iuran Wajib (IW), Sumbangan Wajib (SW), adalah kontribusi wajib yang bersifat sosial dan kolektif. Dana yang terkumpul dari recehan nominal kecil, seperti Rp 100 hingga Rp 143.000, mencerminkan semangat gotong royong masyarakat Indonesia.
Sistem ini tidak mengenal istilah “premi,” yang biasa digunakan dalam asuransi komersial. Dana ini dikelola untuk memberikan perlindungan dan meringankan beban masyarakat yang terkena dampak kecelakaan lalu lintas.
Santunan adalah manifestasi kepedulian & kehadiran Negara. Santunan yang diberikan Jasa Raharja adalah bukti nyata kehadiran dan kepedulian Negara dalam melindungi warganya.
Besaran santunan diatur dalam PMK No. 15/PMK.010/2017 dan PMK No. 16/PMK.010/2017, mencakup:
- Meninggal dunia: Rp 50 juta.
- Cacat tetap: Maksimal Rp 50 juta.
- Perawatan medis: Maksimal Rp 20 juta.
- Penguburan (tanpa ahli waris): Rp 4 juta.
Santunan ini tidak hanya bernilai material tetapi juga mencerminkan nilai sosial yang mendalam.
Perbedaan dengan Asuransi Jasaraharja Putera.
Sebagai anak perusahaan, Jasaraharja Putera (JP) beroperasi di ranah asuransi komersial yang berbasis profit oriented, menggunakan nomenklatur seperti “premi” dan “uang pertanggungan.”
Jasaraharja Putera melayani asuransi kendaraan, properti, dan tanggung gugat pihak ketiga, Surety Bond serta General Insurance lainnya. Namun Jasa Raharja seharusnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang stand alone berlandaskan social security, dengan IW, SW, dan santunan sebagai wujud tanggung jawab sosial, bukan menjadi Anak Perusahaan yang dikejar kejar setor dividen ke Induk Perusahaan, namun prioritaskan penyesuaian kenaikan besaran nila santunan bagi masyarakat korban yang berduka.
Menjaga Sakralitas IW, SW, dan Santunan.
Pergeseran makna IW, SW, dan santunan menjadi istilah komersial dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap Jasa Raharja. Identitas sakral ini harus dijaga dan dikawal agar misi sosial Jasa Raharja tetap terwujud. Implementasi TPL menghadirkan tantangan baru, namun keberlanjutan Jasa Raharja sebagai pengemban misi sosial harus tetap menjadi prioritas utama.
IW, SW, dan santunan adalah simbol tanggung jawab sosial Negara yang menjadi warisan tak tergantikan. Sebagai penjaga dan pengawal amanah UU No. 33 dan 34 Tahun 1964, Jasa Raharja harus terus membedakan dirinya dari asuransi komersial dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Ditulis Oleh:
Diding S Anwar
Ketua Bidang Penjaminan Kredit UMKM & Koperasi RGC FIA UI