
Indonesia Kaya Raya, Rakyatnya Masih Berjuang
Indonesia sebentar lagi akan menapaki satu abad kemerdekaan. Negeri ini dikenal sebagai negara agraris dan maritim, dengan sawah luas terbentang, lautan penuh ikan, serta pasar domestik yang kini menjadi terbesar ke-4 di dunia. Namun di balik kekayaan alam yang berlimpah itu, masih ada kenyataan yang membuat dada sesak.
Dari sekitar 284 juta jiwa penduduk, hampir sepertiga masih menggantungkan hidup pada sawah dan laut—para petani dan nelayan yang berjuang dalam senyap. Seperlima lagi mencari nafkah di pasar, di kaki lima, atau lewat jasa sederhana. Sementara hampir separuh bekerja di sektor formal: pabrik, kantor, instansi pemerintah, hingga perusahaan swasta. Gambaran ini menunjukkan bahwa kemerdekaan politik yang kita nikmati belum sepenuhnya sejalan dengan kemerdekaan ekonomi rakyat.
UMKM & Koperasi: Denyut Utama Ekonomi Rakyat
Di tengah struktur masyarakat itu, UMKM dan koperasi menjadi denyut utama ekonomi rakyat. Ada lebih dari 65 juta unit usaha, mayoritas berupa mikro dan kecil, yang menopang 61% PDB nasional. Dari tangan-tangan sederhana merekalah ±117 juta pekerja—97% dari seluruh angkatan kerja—mendapatkan nafkah.
Ironisnya, perhatian yang mereka terima belum sebanding dengan kontribusinya. Porsi kredit UMKM dari lembaga keuangan (bank dan non-bank) masih rendah. Dari sisi perbankan, porsinya hanya sekitar 18,6% dari total kredit—bahkan menurun dari 19,7% pada tahun sebelumnya. Lembaga keuangan non-bank seperti multifinance, koperasi simpan pinjam, maupun fintech, memang mulai menyalurkan pembiayaan ke UMKM, tetapi volumenya masih kecil dan belum mampu menjadi penopang utama.
Padahal di sudut lain negeri ini, masih ada 24 juta rakyat miskin, termasuk 2,38 juta jiwa miskin ekstrem, yang menanti jalan keluar dari jerat kemiskinan.
Diaspora: Kekuatan yang Belum Terhubung
Sementara itu, lebih dari 9 juta diaspora Indonesia tersebar di berbagai negara: dari Malaysia, Timur Tengah, Taiwan, Singapura, hingga Eropa dan Amerika. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai buruh migran di sektor domestik, konstruksi, dan manufaktur. Sebagian kecil mulai menapaki jalan wirausaha dan profesional.
Mereka mengirim pulang devisa yang besar, namun sekaligus menorehkan pertanyaan mendasar: mengapa peluang di negeri sendiri belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil? Jika diaspora yang berjuang di rantau saja bisa menghasilkan devisa dan membuka jalan, mestinya UMKM di dalam negeri juga bisa lebih diberdayakan untuk menopang kemandirian ekonomi bangsa.
Suara dari Purwakarta Jawa Barat
Di Purwakarta, gambaran itu hadir dalam wujud nyata. Sore itu di balai koperasi, tiga sosok sederhana duduk berbincang.
Kang Yayan, perajin keramik dari Plered, sibuk membersihkan jemari yang berlumur tanah liat.
Teh Iteung, pembuat peuyeum dari Bendul, meletakkan baskom berisi singkong yang harum baunya.
Kang Ujang, Ketua Koperasi, menyimak dengan penuh perhatian.
“Keramik Kang Yayan bagus-bagus. Ada pesanan lagi?” tanya Teh Iteung.
Kang Yayan mengangguk lemah. “Ada dari Bandung. Tapi tungku saya sudah tua, perlu diganti. Bank minta agunan, rumah sudah saya jaminkan.”
Teh Iteung ikut menghela napas. “Saya pun sama. Permintaan peuyeum makin banyak, tapi modal kerja terbatas. Kalau ke bank, bunganya berat. Kalau ke rentenir, makin mencekik.”
Kang Ujang menepuk meja pelan. “Kalau ada penjaminan kredit, risiko bisa dibagi. Bank tidak takut, koperasi ikut menanggung, penjamin menopang. Kita bisa melangkah lebih berani.”
Mereka kemudian berbalas pantun, menyampaikan harapan dalam bahasa sederhana rakyat kecil:
Kang Yayan:
Pergi ke pasar membeli genteng,
Pulang membawa keramik pecah.
Kalau UMKM terus ditopang,
Ekonomi rakyat pasti gagah.
Teh Iteung:
Singkong manis dibuat peuyeum,
Dijemur hangat di bawah mentari.
Kalau ada penjaminan menyokong UMKM,
Hidup pengrajin tak lagi ngeri.
Kang Ujang:
Sawah luas tempat menanam padi,
Petani bekerja siang dan malam.
Kalau penjaminan berjalan pasti,
UMKM naik kelas, bangsa pun makmur dalam.
Di balai sederhana itu, senyum kecil merekah. Ada harapan baru yang lahir.
Mengapa UMKM & Koperasi Harus Jadi Prioritas?
UMKM dan koperasi bukanlah pelengkap, melainkan pilar utama ekonomi Indonesia. Hampir seluruh rakyat menggantungkan hidup padanya. Dari sektor inilah lebih dari 60% PDB nasional lahir, sebuah kontribusi yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Tetapi lebih dari sekadar angka, UMKM dan koperasi menyimpan harapan sosial yang luar biasa. Akses pembiayaan produktif bisa menjadi tangga keluar bagi ±24 juta penduduk miskin, termasuk 2,38 juta jiwa yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Selain itu, jutaan diaspora Indonesia bisa menjadi jembatan pasar global bila produk UMKM mampu menembus jejaring mereka. Dengan begitu, wajah ekonomi rakyat akan naik kelas, melampaui sekadar lokal, menjadi kekuatan dunia.
Belajar dari Dunia
Dunia telah memberi banyak pelajaran berharga. Korea melalui KODIT berhasil menjamin triliunan won sehingga bank tidak ragu menyalurkan kredit. Jepang punya sistem berlapis lewat CGCs dan JFC yang memungkinkan penjaminan daerah mendapat dukungan counter-guarantee dari pusat. Di Jerman, Bürgschaftsbanken berperan menjamin pinjaman hingga €1,25 juta dengan negara sebagai penopang terakhir.
Bangladesh bahkan menawarkan inspirasi berbeda melalui Grameen Bank yang didirikan Muhammad Yunus. Kredit mikro diberikan tanpa agunan, berbasis kelompok, dan fokus pada perempuan. Hasilnya, terbukti bahwa masyarakat miskin pun bisa dipercaya bila sistemnya dirancang dengan benar.
Peran Ekosistem Penjaminan di Indonesia
Indonesia sesungguhnya sudah memiliki fondasi kuat melalui berbagai lembaga penjaminan: Jamkrindo, Penjaminan Daerah, penjaminan swasta (konvensional maupun syariah), hingga Penjaminan Ulang (PUI). Jika semuanya diperkuat, maka alur pembiayaan UMKM akan menjadi lebih sehat dan inklusif.
Skema berbagi risiko antara bank, penjamin, dan re-guarantee dapat membuat kredit lebih mudah mengalir. Penjaminan bertingkat ala Jepang dan Jerman bisa diadaptasi, sehingga kapasitas penjaminan makin luas. Produk-produk baru berbasis arus kas—seperti invoice financing, supply chain financing, dan warehouse receipt—perlu digarap serius.
Koperasi bisa menjadi aggregator bagi pembiayaan berbasis klaster, seperti koperasi keramik Plered atau koperasi peuyeum Bendul. Lebih jauh, pemanfaatan digital credit scoring melalui data transaksi e-commerce, listrik, dan telekomunikasi akan memberi alternatif bagi UMKM yang belum memiliki agunan. Bahkan diaspora bisa dilibatkan melalui skema diaspora guarantee, menjadi jembatan pasar sekaligus mitra investasi bagi kampung halaman.
Inspirasi: Dari UMKM ke Global
Sejarah dunia menunjukkan bahwa perusahaan besar sering kali berawal dari kecil. Apple lahir di garasi rumah Steve Jobs dan Steve Wozniak. Google bermula dari kamar kos mahasiswa Stanford. Starbucks hanyalah kedai kopi kecil di Seattle sebelum mendunia. Unilever berawal dari usaha sabun keluarga di Eropa.
Bahkan di Indonesia, Gojek dan Tokopedia dulu hanyalah startup sederhana, kini menjelma menjadi raksasa digital dalam ekosistem GoTo. Semua ini membuktikan bahwa UMKM bisa menembus batas global, asalkan ekosistem yang mendukungnya dibangun dengan sungguh-sungguh.
Bangun dari Tidur Panjang
Cerita Kang Yayan dengan keramik Plered, Teh Iteung dengan peuyeum Bendul, dan pantun Kang Ujang adalah cermin wajah UMKM Indonesia: tangguh, kreatif, tetapi sering terpinggirkan. Hampir 100 tahun kemerdekaan Indonesia, ekonomi rakyat masih menanti kemerdekaannya.
Kini saatnya bangsa ini bangun dari tidur panjang. UMKM & koperasi tidak butuh belas kasih, melainkan prioritas nyata. Dukungan pembiayaan produktif, ekosistem penjaminan yang kuat, dan kebijakan yang berpihak adalah jalan menuju Indonesia Emas 2045.
Karena UMKM & koperasi bukan hanya penopang, melainkan penggerak dahsyat menuju kemandirian ekonomi sejati.
“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.”
Oleh : Diding S. Anwar
Ketua Bidang Penjaminan Kredit RGC FIA UI.
Ketua Komite Tetap Penjaminan, Perasuransian, Industri Keuangan KADIN Bidang FMIK (Fiskal, Moneter, Industri Keuangan).