Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara belanja infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi (Aschauer (1980). Ketersediaan sarana infrastruktur yang mencukupi dapat menjadi sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Investasi infratruktur selain menurunkan biaya produksi, biaya transportasi, dan meningkatkan produktivitas, juga dapat menciptakan eksternalitas (Permana, at.all 2010).
Sejalan dengan semakin kompleksnya pertumbuhan ekonomi, para ahli ekonomi berusaha mengembangkan berbagai model pertumbuhan yang mencoba menjelaskan mengapa ada sebagian negara yang kaya dan sebagian yang lain miskin.
Sampai saat ini belum ada model pertumbuhan ekonomi powerful dalam menjelaskan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa membuat penyederhanaan melalui asumsi-asumsi yang kurang realistis di dalam dunia nyata.
Menurut studi bersama (2009) antara Asian Development Bank (ADB) dan Asian Development Bank Institute (ADBI), terdapat perbedaan dalam pembangunan infrastruktur mencapai sepertiga dari keseluruhan perbedaan output per pekerja antara Amerika Latin dan Asia Timur. Perbedaan juga menyangkut peningkatan pendapatan masyarakat miskin, penurunan angka kematian bayi, peningkatan kehadiran sekolah, dan jam belajar yang diperpanjang (JBIC Today 2005).
Hasil joint studi ADB dan ADBI juga mengungkapkan bahwa akses jalan dan listrik pun terkait dengan peningkatan pendapatan di Thailand, tingkat kemiskinan yang lebih rendah di India dan Vietnam, dan hasil kesehatan yang lebih baik di Indonesia.
Sampai saat ini pembiayaan infrastruktur masih terkendala akibat krisis ekonomi dan diperparah dengan wabah covid-19. Hal ini tercermin dari alokasi anggaran pemerintah diberbagai Negara untuk infrastruktur yang cenderung terus menurun jika dilihat dari persentasenya terhadap Produk Domestik Bruto. Untuk itu, Pemerintahan di Negara-negara ASEAN baik secara individu maupun bersama-sama perlu merumuskan kebijakan pembiayaan yang tepat terkait dengan pembangunan infrastruktur.
Menurut Fauziah Zen dan Michael Regan (2014) negara-negara anggota ASEAN memiliki tingkat kebijakan infrastruktur yang berbeda, metode pembiayaan, dan kapasitas keuangan. Singapura dan Brunei memiliki keuangan domestik yang melimpah sumber daya untuk membangun infrastruktur.
Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina telah mengadopsi program Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) secara progresif untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan dan memanfaatkan swasta. Meskipun PPP belum diformalkan di Kamboja dan Vietnam, partisipasi sektor swasta semakin meningkat dalam pembangunan infrastruktur. Laos dan Myanmar masih menghadapi banyak tantangan: kekurangan sumber daya fiskal, kapasitas rendah, kurangnya kerangka regulasi, dan kesinambungan fiskal yang menantang.
Pemikiran ke depan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di kawasan ASEAN, pada tahun 2007 didirikan ASEAN Infrastructure Fund (AIF). Semua proyek infrastruktur yang didanai oleh AIF juga dibiayai bersama oleh ADB. Dalam perkembangannya AIF menghadapi kendala pendanaan, karena hanya mengandalkan pada iuran Negara-negara anggotanya.
Masalah permodalan AIF juga diakibatkan keterbatasan kemampuan AIF dalam mengakses pendanaan dari pasar modal melalui penerbitan financial notes yang dapat menjadi alternatif reserve negara ASEAN, sebagaimana visi awal pembentukan AIF. Sebagai akumulasi permasalahan pendanaan ini AIF hanya focus pada project finance.
Pada tahun 2010 negara-negara ASEAN kembali mendirikan The Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) yang merupakan bagian dari Asian Bond Markets Initiative. CGIF didirikan untuk mendukung pengembangan pasar modal dan surat berharga di Asia dengan memberikan jaminan finansial atas masalah utang dengan mata uang lokal, terutama emiten korporasi. Perusahaan memulai aktivitas operasionalnya pada 2012 dan mengeluarkan jaminan surat utang- pada tahun 2013.
CGIF memiliki riwayat operasional perusahaan yang terbatas dan berfokus pada portofolio asuransi dengan resiko tinggi. Perusahaan memberikan jaminan terhadap surat utang bermata uang lokal yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara yang menyebabkan perusahaan terekspos terhadap sebagian besar emiten-emiten berperingkat non-investasi dengan risiko mata uang yang tidak dibatasi.
Permasalahannya, jaminan yang diberikan CGIF belum menyentuh perushaan-perusahaan yang bergerak dalam infrastruktur.
Pemberian jaminan terhadap surat utang korporasi akan berdampak pada pertumbuhan pasar obligasi korporasi. Sebagai perbandingan, menurut data World Bank 2018 menunjukkan, market cap Bursa Singapura US$ 687,25 miliar atau Rp 9.618 triliun, dan Bursa Malaysia US$ 486,77 miliar atau Rp 6.804 triliun.
Sedangkan di Bursa Efek Indonesia baru mencapai sebesar Rp 864 triliun. Tingginya gap nilai kapitalisasi market cap bursa antara Indonesia dengan kawasan ASEAN ini mendorong perlunya kerjasama fasilitas regional untuk penguatan pembiayaan sustainable infrastructure.
Untuk itu Indonesia mendorong Negara-negara anggota ASEAN perlunya kerjasama prioritas yang meliputi pembiayaan infrastruktur dan pembiayaan berkelanjutan.
Pertanyaannya adalah bagaimana model kerja sama regionalpembiayaan infrastruktur yang lebih bisa menarik modal dan dapat meningkatkan credit rating. Untuk itu Negara-negara anggota ASEAN perlu duduk bersama untuk mengevalusi potensi penguatan kerjasama pembiayaan infrastruktur di kawasan terutama untuk meningkatkan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan secara global.
Oleh: Makmun Syadullah
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu