
Oleh : Diding S. Anwar
Sepuluh tahun lalu, tepatnya Januari 2016, lahirlah UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Undang-undang ini bukan sekadar kumpulan pasal hukum, melainkan sebuah landmark sejarah yang menegaskan penjaminan sebagai bagian integral dari sistem keuangan nasional.
Sebelumnya, penjaminan kerap dipandang pelengkap—sekadar aksesori dalam pembiayaan. Kehadiran UU Penjaminan mengubah paradigma: penjaminan ditempatkan sebagai enabler inklusi keuangan, sebuah jembatan kepercayaan antara lembaga pembiayaan dengan UMKM dan koperasi.
Filosofinya sederhana: penjaminan adalah soal trust. Kepercayaan bahwa yang kecil layak diberi kesempatan untuk tumbuh. Kronologinya jelas: UU Penjaminan memperkuat tata kelola, modal, hingga mekanisme subrogasi. Realitasnya terasa nyata: UMKM yang sebelumnya terbatas oleh agunan, kini mendapatkan jalan baru untuk mengakses pembiayaan.
UMKM: Dari Mikro Menjadi Penopang Bangsa
Hingga 2024, UMKM Indonesia berjumlah lebih dari 65 juta unit usaha. Dari angka itu, 98,7% adalah usaha mikro, dan 1,2% usaha kecil. Meski kecil secara skala, kontribusinya luar biasa:
Menyerap 97% tenaga kerja nasional (119 juta orang lebih).
Menyumbang lebih dari 61% PDB Indonesia.
Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, pernah menegaskan:
“Koperasi dan usaha kecil adalah tiang penyangga ekonomi rakyat.”
Ban Ki-moon, mantan Sekjen PBB, menekankan dimensi global:
“SMEs are the backbone of most economies worldwide, driving job creation and inclusive growth.”
UMKM adalah realitas, bukan sekadar statistik. Mereka ada di warung pinggir jalan, nelayan di pesisir, pengrajin di desa, hingga startup di ruang co-working. Dari yang kecil, lahirlah kekuatan besar yang menopang daya tahan bangsa.
Penjaminan Kredit: Dari Risiko Jadi Pengungkit
Bayangkan seorang pengusaha kecil yang ingin memperluas usahanya. Ia punya pasar, tenaga, dan semangat, tetapi bank menolaknya karena tidak punya agunan. Di sinilah penjaminan hadir.
Mengurangi asimetri informasi dengan menjadi substitusi agunan.
Memperkuat akses kredit agar lembaga keuangan lebih percaya menyalurkan pembiayaan.
Risk sharing sehingga risiko kredit terbagi dan portofolio lebih sehat.
Pengungkit produktivitas yang memungkinkan UMKM naik kelas, masuk rantai pasok industri, hingga menembus pasar ekspor.
Inilah energi pengungkit yang sesungguhnya.
Tantangan Dekade Kedua
Dekade berikut tidak tanpa badai:
Demand turun, supply naik → potensi mismatch dan over-leverage UMKM.
Disrupsi digital → UMKM harus Go Digital, penjaminan harus adaptif dengan credit scoring berbasis data dan AI.
Persaingan global → UMKM dituntut Go Global, penjaminan harus siap dengan skema lintas negara dan reguarantee.
Kepatuhan regulasi → integrasi UU No. 4/2023 (P2SK), PSAK 71, dan pengawasan OJK.
Benchmark Internasional
Indonesia tidak sendiri. Dunia membuktikan bahwa penjaminan kredit adalah instrumen pembangunan:
Amerika Serikat → Small Business Administration (SBA) menopang jutaan UMKM dengan loan guarantee.
India → SIDBI hadir sebagai wholesaler guarantee institution.
Italia → Confidi menjadi koperasi penjaminan berbasis komunitas.
Korea Selatan → KODIT (Korea Credit Guarantee Fund) terbukti sebagai motor UMKM agar kompetitif di pasar global.
Benchmark ini memperlihatkan bahwa penjaminan bukan hanya instrumen domestik, melainkan alat strategis pembangunan ekonomi nasional yang terhubung dengan ekosistem global.
Pentingnya Kepatuhan SKKNI, KKNI, dan SEOJK
Tidak cukup hanya kuat dalam regulasi makro, industri penjaminan juga wajib taat pada standar kompetensi.
Kepmenaker No. 231 Tahun 2020 menetapkan SKKNI Bidang Penjaminan sebagai acuan resmi.
KKNI memberikan kerangka jenjang keahlian profesional.
SEOJK No. 17/2019 menegaskan kewajiban sertifikasi keahlian dan kualifikasi insan penjaminan.
Ini bukan sekadar formalitas, melainkan wajib hukum. Jika perusahaan penjaminan mengabaikan, risikonya besar:
- Menurunnya kualitas tata kelola & manajemen risiko.
- Hilangnya kredibilitas di mata regulator, industri, dan publik.
- Potensi sanksi administratif hingga pembatasan izin operasional dari OJK.
Karenanya, peningkatan kapasitas SDM (human capital) melalui pelatihan, sertifikasi, dan pendidikan berjenjang (Foundation–Executive) harus menjadi prioritas. Profesionalisme insan penjaminan adalah pilar keberlanjutan industri.
Arah Strategis ke Depan
1. Ekosistem Terpadu – menyatukan UMKM, koperasi, perbankan, fintech, hingga diaspora.
2. Digital Guarantee System – berbasis AI, big data, dan open banking.
3. Skema UMKM Naik Kelas – fokus pada sektor produktif, hijau, dan ekspor.
4. Kemitraan Reguarantee – Penjaminan Ulang sebagai jangkar stabilitas risiko nasional.
5. SDM & Tata Kelola – penguatan human capital melalui SKKNI–KKNI, sertifikasi SEOJK, dan roadmap pendidikan.
Refleksi menyongsong 10 tahun UU Penjaminan mengingatkan kita bahwa penjaminan kredit adalah energi pengungkit: bukan sekadar mitigasi risiko, melainkan katalis kemajuan UMKM dan koperasi agar naik kelas, Go Digital, dan Go Global.
Dekade kedua harus menjadi momentum transformasi: dari sekadar penyedia jaminan menjadi arsitek ekosistem UMKM modern dan global.
Menguatkan yang kecil, menopang yang besar.
Itulah warisan sejarah, sekaligus tekad kita menyongsong masa depan penjaminan Indonesia.
Berlomba-lombalah dalam kebaikan.