
Eddy Soeparno Wakil Ketua KomisiVII DPR RI dalam Focus Group Discussion Pandawa Nusantara “Masa Depan Industri Hulu Migas di Indonesia Dalam Menghadapi Transisi Energi” di Hotel Sultan Jakarta pada Selasa (7/12/2021).
Jakarta – Pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) menjadi salah satu regulasi yang paling lama dibahas di parlemen. Pasalnya, revisi UU tersebut telah berlangsung sejak 2008 dan sampai sekarang belum juga selesai.
Eddy Soeparno Wakil Ketua KomisiVII DPR RI mengungkapkan UU Migas perlu direvisi karena berbagai permasalahan yang harus diperbaiki dengan harapan sektor migas lebih kompetitif.
“Ada beberapa tolak ukur dan latar belakang yang menjadikan kita harus mendorong revisi UU migas ini, aspek politis dimana sejak 2008 perlu direvisi, aspek yurudis putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang membatalkan beberapa pasal yang masih digunakan sampai saat ini”, ungkapnya dalam Focus Group Discussion Pandawa Nusantara “Masa Depan Industri Hulu Migas di Indonesia Dalam Menghadapi Transisi Energi” di Hotel Sultan Jakarta pada Selasa (7/12/2021).
Seperti diketahui, salah satu poin yang ditunggu dalam revisi UU Migas yaitu status kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Karena SKK Migas masih berupa institusi sementara sejak dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi pada 2012 lalu.
sementara itu, pemerintah harus mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dari saat ini masih 10,9%. Di sisi lain, untuk mendorong investasi di sektor EBT ini, maka dibutuhkan kepastian regulasi, salah satunya melalui UU EBT ini.
“Kita beralih dari fosil ke EBT lifting gas 1 juta barel/hari pada tahun 2030. Berdasarkan APBN 2022 diangka 722 ribu barel perhari target kita tahun mendatang harus sudah 1 juta barel perhari. Disini ada kontradiksi di satu pihak kita harus meningkatkan lifting satu pihak kita harus beralih ke EBT. Perlu kita cari solusiya dengan waktu yang cukup”, imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Indonesia Komaidi Notonegoro menyampaikan revisi UU Migas ini paling terlama sejak pertama kali direkomendasikan, sementara undang-undangnya sendiri pasal-pasalnya sudah 40-50 persen sudah dibatalkan MK.
“Kalau ibarat individu pakai baju sudah compang-camping, jangan salah kalau individunya masuk angin. Tidak salah kalau kinerja SKK Migas semakin menurun. Karena payung hukumnya UU migas nomor 22 tahun 2001 sejak dilakukan revisi sampai sekarang belum selesai”, ungkapnya.
Tambah Komaidi, Revisi UU Migas Hampir setiap tahun masuk prolegnas DPR RI. Tapi sampai hari ini belum selesai dan bahkan sudah beberapa kali berganti kepemimpinan anggota DPR tidak diselesaikan.
“Pembahsan RUU Migas masuk dalam rancangan 2020-2024, tetapi yang cukup menarik tidak masuk pada prolegnas 2020-2021. Ini mungkin menjadi proses revisi undang-undang yang terlama di parlemen,” katanya
Ada tiga masalah dalam pengelolaan sektor migas kita terutama hulu migas, pertama ketidakpastian hukum, ketidakpastan fiskal, proses administrasi atau birokrasi yang rumit.
“Kelembagaan SKK Migas bukan merupakan badan Usaha sehingga berpotensi dibubarkan diganti dengan kelembagaan terbaru. Karena memang dibentuk bukan berdasarkan undang-undang tetapi peraturan dibawah undang-undang. Tentunya secara kedudukan fungsinya lebih rawan. Mudah-mudahan segera diselesaikan”, ujarnya.
Bagaimana penguatan lembaga hulu migas ini harus segera dilakukan, revisi UU migas ini harus segera diselesaikan.
“Ini sangat diperlukan oleh semua pihak bagaimana kelanjutan fungsi dan kedudukan SKK dalam payung hukum yang diperlukan”, pungkasnya.