
Jakarta – Dua mekanisme pertanggungan asuransi wajib tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability/TPL) kendaraan bermotor mencuat ke publik. Dua mekanisme yang dimaksud adalah melalui konsorsium atau pasar bebas (free market).
Dikutip dari kepada Investor Daily, Industri perasuransian, khususnya sektor industri asuransi umum akan mendapat durian runtuh dari kehadiran asuransi wajib TPL kendaraan bermotor. Pendapatan premi diyakini akan mengalir deras ke industri tersebut.
“Selain manfaat yang akan diterima oleh publik, ide asuransi wajib TPL kendaraan bermotor yang mengcover risiko bodily injury (cedera atau meninggal dunia), juga bermanfaat bagi industri asuransi Indonesia. Karena ini diwajibkan atau anti seleksi, maka kita bisa menduga volume premi yang akan dihasilkan oleh asuransi wajib ini akan sangat besar,” ungkap Direktur Teknik dan Operasional Indonesia Re, Delil Khairat.
Dia mengatakan, asuransi wajib TPL kendaraan bermotor juga akan sangat membantu meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia. Saat ini Indonesia termasuk negara dengan tingkat penetrasi asuransi yang sangat rendah. Adapun penetrasi asuransi merupakan rasio premi asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Di negara-negara yang punya asuransi wajib TPL kendaraan bermotor untuk risiko bodily injury, maka premi asuransi kendaraan bermotornya mengambil pangsa yang besar secara industri. Misalnya di Malaysia, sekitar 50% premi asuransi umum berasal dari asuransi kendaraan bermotor. Jadi tentu ini akan sangat baik bagi industri asuransi itu sendiri,” kata Delil.
Namun demikian, ia juga mengkritisi adanya usulan mekanisme pertanggungan asuransi wajib TPL kendaraan bermotor ini menggunakan format konsorsium (pool). Ide lain tapi serupa yang juga mencuat adalah konsorsium yang terbagi berdasarkan tiga wilayah zona waktu Indonesia, mulai dari zona barat, zona tengah, dan zona timur.
“Saya pada prinsipnya tidak setuju dengan ide ini. Kenapa? Konsorsium atau pool itu memang jadi salah satu solusi yang biasa dipakai industri asuransi/reasuransi. Tetapi, situasi yang menyebabkan kita memakai konsorsium atau pool adalah apabila kita dihadapkan pada risiko yang sulit dikelola, risiko yang tidak mau diambil oleh market pada umumnya,” urai Delil.
Beberapa contoh konsorsium dengan risiko yang sulit dikelola saat ini misalnya asuransi gempa bumi, asuransi dengan risiko khusus, asuransi terorisme, asuransi pasar tradisional, surety bond dan asuransi kredit. Ada pula konsorsium untuk asuransi penerbangan (aviation), konsorsium asuransi energi (offshore/onshore), hingga konsorsium asuransi terkait risiko perang (war risk).
“Jadi konsorsium ini dipilih karena risiko-risikonya sulit dikelola, dimana market pada umumnya memiliki low appetite. Tetapi asuransi kendaraan bermotor ini adalah asuransi yang sebenarnya tidak rumit dan appetite market sangat tinggi. Karena tanpa mewajibkan saja, kalau saya tidak salah, premi asuransi kendaraan bermotor ini preminya terbesar kedua di bawah asuransi properti, di Indonesia,” jelas Delil.
Rekomendasi Pelaku Usaha
Delil bilang, hampir semua perusahaan asuransi telah menawarkan asuransi kendaraan bermotor atas risiko kecelakaan, sehingga tidak cocok untuk diterapkan konsorsium.
“Enggak cocok dan enggak kena. Jadi saya juga agak struggling untuk memahami background atau latar belakang pemikiran, mengapa mengemuka ide untuk melakukannya dengan cara pooling? Saya merasa ini harus di-open ke semua perusahaan asuransi yang bersedia memberikan cover dan service,” ungkap Delil.
Bagi dia, sebaiknya asuransi wajib TPL untuk risiko kecelakaan atau kendaraan bermotor ini dibebaskan ke pasar melalui mekanisme pasar bebas atau free market. Meski begitu, mekanisme ini juga memerlukan regulasi untuk kompetisi itu bisa berlangsung dengan sehat, atau menekan potensi kecurangan (fraud).
Bahkan, kata dia, mekanisme semacam ini masih akan jauh lebih baik sekalipun pemerintah memberi batasan tarif premi. Lantaran di banyak negara, asuransi wajib TPL kendaraan bermotor untuk perlindungan risiko cidera atau meninggal dunia turut menerapkan batas tarif premi, dan tidak ada masalah berarti atas kebijakan tersebut.
“Jadi saya belum bisa memahami sepenuhnya ide membuat konsorsium, jadi saya belum dalam posisi untuk meyakini itu adalah solusi terbaik. Buat saya, solusi terbaik adalah tetap melepaskannya ke market, ke kompetisi, sehingga publik juga akan mendapat benefit atau pilihan kepada siapa menyerahkan asuransi wajib TPL kendaraan bermotor mereka,” pungkas Delil.
Sebelumnya, Dewan Kehormatan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Firdaus Djaelani mengatakan, dalam pembahasan asuransi wajib TPL dengan pemerintah, industri menghendaki supaya menggunakan skema konsorsium yang nantinya menaungi beberapa perusahaan asuransi. Ini pula yang akan memudahkan masyarakat dalam membayar premi hingga proses klaim.
“Konsorsium yang berisi beberapa perusahaan asuransi tersebut bisa bekerja sama dengan bengkel sehingga begitu kecelakaan terjadi, mobil korban akan difoto dan langsung dibawa ke bengkel- bengkel mitra dari konsorsium sehingga klaimnya tidak akan susah,” jelas Firdaus Djaelani dalam program Investor Market Today di IDTV, Selasa (30/7/2024).
Sebagai ilustrasi, saat kecelakaan terjadi, pelaku utama penyebab kecelakaan mesti bertanggung jawab secara material melalui proses hukum. Namun kerap kali dalam kenyataannya, keributan tentang siapa yang salah malah akan semakin memperkeruh situasi.
Nantinya, lewat kehadiran Asuransi Wajib TPL untuk kendaraan bermotor terkait risiko kecelakaan, baik pelaku maupun korban kecelakaan tak perlu lagi ribut-ribut karena dapat langsung membawa kendaraannya ke bengkel mitra untuk diperbaiki.