Kekhawatiran terbesar investor terhadap UMKM adalah kegagalan bisnis yang berdampak pada pengembalian dana tanpa perlindungan risiko. Hal ini menjadi Isu permasalahan dan menjadi kebutuhan perlunya perlindungan risiko yang dapat membantu memitigasi dampak dari kegagalan bisnis UMKM.
Dengan adanya mekanisme perlindungan yang jelas, investor akan merasa lebih aman dalam menempatkan dana mereka, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan investasi di sektor ini.
Masih maraknya kasus investasi bodong dengan berbagi modus menjadi pelajaran betapa pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap investasi pada fintech SCF ini agar masyarakat tidak memandang skeptis dengan penawaran jenis investasi yang relatif baru berkembang ini.
Perlindungan risiko yang kuat dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap platform SCF di Indonesia. Perkembangan industri tersebut telah membuka peluang baru bagi pemodal dan UMKM, namun juga membawa risiko yang perlu dimitigasi.
Tulisan ini akan mengulas jenis Risiko dan tipikal risiko dari berbagai sudut kepentingan para pelaku dalam ekosistem fintech SCF, baik dari sisi pemodal dan penerbit sebagai penggguna platform maupun perusahaan start up sebagai penyelenggara fintech SCF, serta bentuk-bentuk perlindungan risiko yang tersedia.
Risiko Bagi Pemodal
Pemodal dalam fintech SCF menghadapi jenis risiko utama yaitu risiko kerugian finansial jika bisnis yang didanai gagal atau tidak berkembang sesuai harapan, kemudian risiko likuiditas dikarenakan saham yang diterbitkan UMKM kepemilikannya masih bersifat terbatas sehingga tidak bisa diperdagangkan secara luas di luar kalangan investor pengguna platform.
Risiko terbatasnya akses pemodal untuk dapat mengetahui kondisi perusahaan atau aspek transparansi kinerja manajemen sebagaimana perusahaan go public masih menjadi kendala bagi pemodal. Secara umum segala risiko yang dihadapi UMKM menjadi concern bagi pemodal apakah investasi mereka akan baik-baik saja sesuai harapan dan janji di awal penerbitan sekuritas.
Risiko Bagi UMKM Penerbit
UMKM yang menerbitkan saham melalui fintech SCF juga menghadapi beberapa risiko. Risiko utama adalah kegagalan dalam mencapai target pendanaan yang dapat berdampak pada gagalnya rencana pengembangan bisnis. Target pendanaan melalui kampanye yang persuasif menjadi tantangan pertama apakah bisnis UMUM cukup prospektif, feasible dan acceptable karena tidak semua rencana bisnis yang akan dijalankan dapat didanai jika pemodal tidak tertarik.
Hal ini juga menimbulkan risiko reputasi jika kinerja perusahaan dikemudian jika tidak sesuai prospek yang dijanjikan kepada investor. UMKM juga tetap perlu memiliki jaminan baik aset maupun fiducia sebagai underlying dari bisnisnya.
Tuntutan bahwa manajemen UMKM harus semakin profesional dalam pengolaan bisnis menjadi tanggung jawab dan konsekuensi yang berpotensi adanya intervensi pemegang saham dalam pengambilan keputusan bisnis. Intinya besar kecilnya potensi risiko UMKM yang dihadapi baik risiko bisnis maupun keuangan akan menjadi ukuran kepercayaan publik untuk berinvestasi.
Risiko Bagi Penyelenggara Fintech
Penyelenggara platform fintech SCF diatur ketat oleh seperangkat aturan dari regulator. Hal ini menjadi tipikal model bisnis pada industri keuangan pada umumnya. Penyelenggara memainkan peran multi arah dalam ekosistem bisnis baik memfasilitasi proses bisnis antara pemodal dengan penerbit, menjalin kemitraan horizontal dengan otoritas pengelola rekening efek, bank kustodian dan pihak strategis lainnya.
Penyelenggara juga melakukan hubungan vertikal dengan OJK dan asosiasi untuk memastikan aspek kepatuhan terhadap regulasi dan aturan teknis lainnya. Belum lagi untuk fintech SCF berjenis syariah sangat perlu untuk mematuhi kaidah dan prinsip syariah dengan pengawasan dari DSN MUI.
Ketidakpatuhan penyelenggara menimbulkan konsekuensi risiko legal dari sanksi teringan sampai terberat. Penyelenggara juga menghadapi risiko operasional, seperti kegagalan sistem teknologi atau pelanggaran keamanan data. Penyelenggara juga menghadapi risiko reputasi yang signifikan, manakali terjadi kegagalan bisnis atau permasalahan legal dari proyek yang ditawarkan UMKM di platform mereka.
Berdasarkan tipikal dan jenis risiko di atas maka perlu dihadirkan bentuk-bentuk perlindungan Risiko yang relevan dan sesuai kebutuhan stakeholder fintech SCF. Beberapa bentuk mitigasi risiko, antara lain:
Asuransi Sesuai Jenis Proteksi
Produk asuransi dapat memberikan perlindungan bagi berbagai pihak dalam ekosistem fintech SCF. Bagi pemodal, asuransi dapat memberikan kompensasi jika terjadi kerugian proteksi atau kerusakan atau hilangnya aset berharga perusahaan.
Bagi UMKM, asuransi bisnis dapat melindungi kerugian dari berbagai risiko operasional yang dapat mengganggu kinerja perusahaan baik yang bersifat aset fisik, barang produksi, sdm dan banyak jenis risiko lain. Misal penyelenggara fintech SCF dapat memanfaatkan asuransi cyber untuk melindungi dari risiko pelanggaran keamanan data atau jenis asuransi lainnya yang dapat memproteksi objek yang terpapar potensi risiko. Industri asuransi telah berkembang di Indonesia, para pihak baik pemodal, penerbit atau penyelenggara memiliki preferensi risiko masing-masing dan dapat menentukan jenis produk asuransi apa yang paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan.
Dana Perlindungan Pemodal
Dikenal secara global dengan sebutan Securities Investor Protection Fund (SIPF) merupakan lembaga yang dibentuk untuk melindungi dana investor dari risiko yang diakibatkan penyalahgunaan dana investasi oleh penerbit (emiten) dan pihak lainnya. Keberadaan lembaga ini menjadi prasyarat penting keberadaan industri pasar modal di berbagai negara belahan dunia yang telah menerapkan aspek perlindungan terhadap para investor.
Peraturan hukum di Indonesia sebenarnya telah mengamatkan adanya perlindungan terhadap pemodal. Undang-undang No. 4/2023 tentang P2SK, Pasal 69B menyebutkan bawa dalam rangka memberikan pelindungan kepada pemodal atau investor yang memanfaatkan layanan penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran efek, penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dapat memberikan pelindungan dana pemodal berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK.
Sebelumnya OJK telah lebih dulu menetapkan keberadaan kelembagaan Dana Perlindungan Pemodal (DPP) sebagaimana melalui POJK No. 49/POJK.04/2016 tentang Dana Perlindungan Pemodal, pada pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset Pemodal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Namun, dalam praktiknya amanat undang-undang dan peraturan perlindungan tersebut baru efektif dijalankan pada investor di pasar modal atau Bursa Efek Indonesia. Perlindungan tersebut sebenarnya melekat pada rekening dana nasabah (RDN) bank kustodian, sehingga pemodal fintech SCF yang dipersyaratkan membuka RDN akan mendapat perlindungan yang sama dengan investor pasar modal.
Saat ini secara teknis implementasi perlindungan terhadap pemodal fintech SCF, sedang dalam proses pembahasan antara DPP atau Indonesia SPIF dengan para pelaku industri fintech SCF yang diwadahi ALUDI. Untuk melindungi risiko pemodal, saat ini baru efektif mewajibkan penyelenggara fintech SCF untuk memiliki escrow account dan virtual account terpisah untuk melindungi dana investor sebagaimana telah diatur dalam POJK No.57/P.04/2020. Produk regulasi perlindungan untuk pemodal fintech SCF sangat dinanti masyarakat calon pemodal.
Pemeringkat Kredit UMKM
Keterlibatan lembaga pemeringkat kredit yang kredibel dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap platform crowdfunding dan perusahaan UMKM penerbit efek. Kepercayaan ini penting untuk menarik lebih banyak investor dan mendorong pertumbuhan industri fintech SCF itu sendiri karena ukuran rating kredit dapat mengukur potensi keberhasilan pendanaan berdasarkan profil dan potensi risiko. Peran lembaga pemeringkatan kredit dapat membantu memperluas akses pendanaan bagi UMKM yang belum bankable. Dengan pemeringkatan kredit yang objektif, mereka dapat meyakinkan investor tentang kredibilitas dan risiko penerbit.
Pengaturan mengenai lembaga pemeringkatan untuk fintech SCF diatur dalam POJK No. 57/P.04/2020, Pasal 16 ayat (3 dan 4) yang menyebutkan bahwa dalam melakukan penelaahan (due diligence), penyelenggara wajib mempertimbangkan informasi perkreditan dari lembaga pengelola informasi perkreditan (LPIP) dan bagi penerbitan efek bersifat utang atau sukuk, juga wajib menyampaikan peringkat efek bersifat utang atau sukuk, jika telah diperingkat.
Penyelenggara disamping bertanggung jawab dalam proses penelaahan, mereka juga harus aktif melakukan pengawasan terhadap penerbit dan berupaya agar profil risiko dapat terjaga serta potensi risiko dapat ditekan melalui upaya mitigasi sedini mungkin.
Saat ini proses penelaahan lembaga pemeringkatan telah berjalan cukup efektif sekalipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan penyempurnaan melalui komitmen, dukungan dan kerjasama para pihak agar dapat menghasilkan peringkat kredit yang kualified.
Penjaminan Kredit
Penjaminan kredit saat ini lebih dikenal melekat dengan dunia perbankan. Pernyataan tersebut tidak keliru mengingat kehadiran lembaga penjaminan kredit menjadi kebutuhan sektor perbankan untuk mengatasi risiko kredit yang berdampak terganggunya kinerja NPL bank.
Penjaminan kredit juga erat dikaitkan dengan program KUR pemerintah yang memberikan aspek penjaminan bagi para UMKM yang mengajukan dana KUR melalui bank-bank yang ditunjuk pemerintah sebagai penyalur KUR. Eksistensi industri penjamian kredit juga tidak bisa dibilang kaleng-kaleng karena telah sejak satu dekade lalu memiliki landasan hukum yang kuat yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, dengan cakupan jenis coverage risiko yang beragam dan dengan dukungan operasional perusahaan penjaminan kredit nasional dan jaringan perusahaan daerah atau disebut perusahaan penjaminan kredit daerah (jamkrida).
Penjaminan kredit memberikan perlindungan dari aspek bisnis UMKM yaitu mengatasi keterbatasan jaminan sebagai syarat pengajuan kredit bank. Penjaminan kredit juga mengatasi risiko kredit macet UMKM dengan mengalihkan hak tagih dari bank kepada perusahaan penjaminan (surbrogasi). Skema perjanjian penjaminan saat ini memang belum dikenal luas oleh UMKM. Biasanya penggunaan skema penjaminan kredit banyak diajukan atas inisiatif perbankan.
Padahal penjaminan kredit secara terbuka bisa diajukan atas inisiatif UMKM yang memiliki keterbatasan aspek kolateral terkait ketidakcukupan nilai agunan atas aset dalam pengajuan kredit perbankan.
Dalam skema penjaminan kredit atau pembiayaan, perusahaan penjaminan berperan sebagai pemberi jaminan, pihak pemodal sebagai penerima jaminan dan UMKM penerbit sebagai pihak terjamin. Dalam skema investasi penerbitan surat utang atau sukuk, misalnya, jika pihak terjamin UMKM gagal membayar kewajibannya, maka perusahaan penjaminan akan menanggung sebagian atau seluruh kerugian kepada pemodal sebagai pihak penerima jaminan.
Dengan demikian manfaat kepesertaan penjaminan kredit atau pembiayaan tidak saja melindungi UMKM dari risiko kegagalan bisnis, tetapi juga membuat UMKM dan penyelenggara fintech SCF menjadi lebih menarik di mata pemodal.
Perusahaan penjaminan kredit dapat memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi investor dan UMKM penerbit. Dengan adanya penjaminan kredit, risiko gagal bayar dapat diminimalisir, sehingga meningkatkan kepercayaan pemodal dalam menyalurkan dana mereka melalui platform fintech SCF.
Hanya saja sayangnya skema penjaminan kredit sebagai perisiai risiko dalam industry fintech SCF masih harus ditempuh melalui diskusi antara pelaku usaha dalam industrI masing-masing yaitu perusahaan penjaminan kredit dan perusahaan penyelenggara fintech SCF.
Berdasarkan uraian terkait bentuk perlindungan di atas, edukasi bagi investor dan juga dukungan pelaku usaha serta regulator penting untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi. Program perlindungan risiko sering kali berjalan seiring dengan inisiatif edukasi untuk para investor sehingga dapat meningkatkan literasi keuangan secara umum, yang bermanfaat tidak hanya untuk sektor industrI fintech SCF tetapi juga untuk UMKM dan masyarakat pemodal secara keseluruhan.
Penulis:
Dede Suryanto
Ketua Digital Financial Center
Vokasi Universitas Indonesia
