
Industri Penjaminan di Indonesia memiliki peran strategis dalam memperluas akses pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta sektor produktif lainnya. Sedikit gambaran menyeluruh kaitan Regulasi Utama termasuk Mekanisme 3 (tiga) Pihak dan Penjaminan Ulang. Regulasi yang ketat diterapkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memastikan keberlanjutan industri ini.
Payung hukum industri penjaminan di Indonesia, diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang (UU), dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).
Undang-Undang yang Mengatur Industri Penjaminan :
1. UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan
Merupakan dasar hukum utama bagi industri penjaminan di Indonesia. Undang-undang No. 1 Tahun 2016, mengatur ruang lingkup usaha penjaminan, perizinan, serta aspek kelembagaan. Mewajibkan lembaga penjaminan memenuhi ketentuan permodalan dan prinsip kehati-hatian (prudential regulation). Undang-undang ini bertujuan untuk memperkuat akses pembiayaan bagi UMKM dan koperasi melalui mekanisme penjaminan kredit.
2. UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK)
Undang-undang P2SK adalah reformasi regulasi di sektor keuangan di Indonesia, termasuk industri penjaminan. undang-undang yang diterbitkan pada tahun 2023. UU P2SK bertujuan untuk memperkuat sektor keuangan Indonesia agar lebih stabil, inklusif, dan berkembang. Undang-undang ini bertujuan untuk emperkuat pengawasan OJK terhadap lembaga penjaminan, memberikan dasar hukum bagi pengembangan industri penjaminan syariah dan menyesuaikan regulasi industri penjaminan dengan standar keuangan internasional.
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dalam Industri Penjaminan
a. POJK No. 1/POJK.05/2017 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjamin
POJK ini mengatur proses perizinan dan kelembagaan lembaga penjaminan, menetapkan persyaratan modal minimum untuk mendirikan lembaga penjaminan, dan mewajibkan pemenuhan prinsip kehati-hatian dalam operasionalnya.
b. POJK No. 2/POJK.05/2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin
Mengatur operasional lembaga penjaminan, tata kelola, manajemen risiko, dan kewajiban pelaporan, Mewajibkan penerapan sistem pengendalian internal yang baik, dan menentukan prosedur klaim dan subrogasi dalam proses penjaminan.
c. POJK No. 10 Tahun 2023 tentang Pemisahan Unit Usaha Syariah Perusahaan Penjaminan
Mengatur pemisahan unit usaha syariah (Unit Usaha Syariah/UUS) dari perusahaan induk konvensional yang bertujuan untuk memperkuat daya saing industri penjaminan syariah.
POJK Terkait Perusahaan Penjaminan Ulang
Regulasi yang mengatur pendirian dan operasional perusahaan penjaminan ulang mencakup ketentuan permodalan dasar dan modal disetor untuk perusahaan penjaminan ulang konvensional dan syariah. Persyaratan tenaga ahli, seperti Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk perusahaan penjaminan syariah, Aktuaris untuk perhitungan risiko dan cadangan klaim dan Ahli Manajemen Risiko dalam skema penjaminan ulang.
Penting untuk diperhatikan bahwa perlunya check POJK lainnya yang berkaitan Indiustri Penjaminan.
Mekanisme Operasional Bisnis Penjaminan
Prinsip penjaminan dalam skema tiga pihak dalam bisnis penjaminan, terdapat tiga pihak utama:
- Pihak Terjamin (Debitur/UMKM)→ Penerima pembiayaan/kredit yang dijamin oleh lembaga penjaminan.
- Pihak Penjamin (Lembaga Penjaminan, seperti Perusahaan Penjaminan X) → Pihak yang memberikan jaminan kepada kreditur jika debitur gagal bayar.
- Pihak Penerima Jaminan (Kreditur/Bank/Institusi Keuangan)→ Lembaga yang memberikan pembiayaan kepada debitur dan menerima jaminan dari lembaga penjaminan.
Sementara alur bisnis penjaminan:
- Debitur mengajukan kredit ke bank/lembaga keuangan.
- Bank menganalisis kelayakan kredit dan meminta jaminan dari lembaga penjaminan.
- Lembaga penjaminan memberikan jaminan setelah melakukan analisis risiko.
- Jika debitur gagal bayar, lembaga penjaminan membayar klaim kepada bank sesuai perjanjian.
- Lembaga penjaminan kemudian memiliki hak subrogasi untuk menagih kembali kepada debitur.
Mekanisme Operasional Bisnis Penjaminan Ulang
Penjaminan Ulang adalah mekanisme di mana lembaga penjaminan mengalihkan sebagian risiko penjaminannya kepada Perusahaan Penjaminan Ulang (Re-Guarantee). Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko gagal bayar yang ditanggung oleh Lembaga Penjaminan.
Pihak dalam Skema Penjaminan Ulang :
- Lembaga Penjaminan (Penjamin Awal) → Menjamin kredit yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan atas kredit yang diberikan kepada UMKM.
- Lembaga Penjaminan Ulang atau Lembaga Khusus, misal PT. Penjaminan Ulang Indonesia (PUI) → Menanggung kembali risiko yang dijamin oleh lembaga penjaminan.
Alur Bisnis Penjaminan Ulang :
- Lembaga penjaminan menerbitkan jaminan kepada bank/lembaga keuangan atas kredit yang diberikan ke UMKM.
- Lembaga penjaminan mencari penjaminan ulang ke perusahaan penjaminan ulang untuk mengurangi risiko yang mereka tanggung.
- Jika terjadi klaim dari bank karena debitur gagal bayar, lembaga penjaminan menanggung klaim sesuai perjanjian.
- Lembaga penjaminan ulang kemudian membayar klaim kepada lembaga penjaminan sesuai dengan perjanjian penjaminan ulang.
Tujuan Penjaminan Ulang :
- Mengurangi risiko finansial lembaga penjaminan dalam menghadapi klaim besar.
- Meningkatkan kapasitas penjaminan lembaga penjaminan.
- Meningkatkan stabilitas industri penjaminan melalui mekanisme distribusi risiko.
Tujuan Regulasi Industri Penjaminan
Regulasi dalam industri penjaminan bertujuan untuk:
- Memastikan akses pembiayaan yang lebih luas bagi UMKM dan koperasi melalui mekanisme penjaminan.
- Meningkatkan stabilitas keuangan lembaga penjaminan dengan pengawasan ketat dari OJK.
- Memperkuat kredibilitas industri penjaminan dengan standar prudential regulation.
- Mendukung pertumbuhan industri penjaminan syariah dengan pemisahan unit usaha syariah dari perusahaan induk konvensional.
- Memastikan skema klaim dan subrogasi berjalan adil dan transparan dalam sistem penjaminan dan penjaminan ulang.
Dengan adanya regulasi ini, industri penjaminan dapat terus berkembang secara berkelanjutan dan berkontribusi pada inklusi keuangan nasional.
PENJAMINAN ULANG (RE-GUARANTEE)
Penjaminan ulang (Re-Guarantee). Merupakan mekanisme pengalihan sebagian risiko dari perusahaan penjaminan kepada perusahaan penjaminan ulang. Tujuan utama dari penjaminan ulang adalah mengurangi eksposur risiko, meningkatkan kapasitas penjaminan, serta menjaga stabilitas keuangan perusahaan penjaminan.
Konsep ini mirip dengan reasuransi dalam industri asuransi, di mana risiko dialihkan agar perusahaan penjaminan tetap memiliki likuiditas yang baik dan mampu menjamin lebih banyak entitas. Di Indonesia, kegiatan penjaminan ulang diatur dalam beberapa regulasi utama:
a. Metode dan Jenis Penjaminan Ulang
Penjaminan ulang dapat dibedakan berdasarkan metode pembagian risiko yang digunakan antara perusahaan penjaminan dan penjaminan ulang.
1. Penjaminan Ulang Proporsional
Dalam metode ini, baik IJP maupun klaim dibagi antara perusahaan penjaminan dan perusahaan penjaminan ulang sesuai dengan proporsi yang telah disepakati.
a. Quota Share
Risiko dan IJP dibagi dalam persentase tetap, misalnya 60:40, di mana perusahaan penjaminan menanggung 60% dan perusahaan penjaminan ulang menanggung 40%.
Contoh Perhitungan:
Jika IJP suatu penjaminan sebesar Rp10 juta dan terjadi klaim Rp4 juta:
Perusahaan penjaminan menerima IJP 60% x Rp10 juta = Rp6 juta
Perusahaan penjaminan ulang menerima IJP 40% x Rp10 juta = Rp4 juta
Perusahaan penjaminan menanggung klaim 60% x Rp4 juta = Rp2,4 juta
Perusahaan penjaminan ulang menanggung klaim 40% x Rp4 juta = Rp1,6 juta
b. Surplus Share
Perusahaan penjaminan mempertahankan risiko hingga batas tertentu, dan kelebihannya dialihkan ke perusahaan penjaminan ulang.
Contoh:
Jika batas retensi Rp1 miliar dan ada risiko Rp3 miliar, maka Rp1 miliar ditanggung oleh perusahaan penjaminan dan Rp2 miliar dialihkan ke penjaminan ulang.
2. Penjaminan Ulang Non-Proporsional
Dalam metode ini, perusahaan penjaminan ulang hanya menanggung kerugian yang melebihi batas tertentu yang disebut dengan “retensi” atau “deductible.”
a. Excess of Loss
Perusahaan penjaminan ulang menanggung kerugian yang melebihi batas retensi yang ditetapkan.
Contoh:
Jika batas retensi Rp500 juta dan terjadi klaim Rp1,5 miliar:
Perusahaan penjaminan menanggung Rp500 juta
Perusahaan penjaminan ulang menanggung Rp1 miliar
b. Stop Loss
Perusahaan penjaminan ulang menanggung kerugian kumulatif yang melebihi persentase tertentu dari total eksposur risiko yang ditanggung perusahaan penjaminan.
Contoh:
Jika batas stop loss 120% dari total eksposur, maka perusahaan penjaminan ulang menanggung kerugian yang melebihi batas tersebut.
Beberapa manfaat utama dari penjaminan ulang antara lain:
1. Mengurangi Risiko Finansial
Membantu perusahaan penjaminan dalam membatasi eksposur terhadap klaim besar.
2. Meningkatkan Kapasitas Penjaminan Memungkinkan perusahaan penjaminan untuk menerima lebih banyak jaminan tanpa meningkatkan risiko secara signifikan.
3. Menjaga Stabilitas Keuangan
Memastikan likuiditas tetap terjaga meskipun ada klaim besar.
4. Mendukung Pengelolaan Portofolio Risiko
Membantu perusahaan dalam mendistribusikan risiko secara lebih efektif.
Penjaminan Ulang merupakan strategi penting dalam industri penjaminan yang bertujuan untuk mengelola risiko dan meningkatkan kapasitas perusahaan penjaminan. Ada dua metode utama dalam penjaminan ulang, yaitu proporsional (Quota Share dan Surplus Share) serta non-proporsional (Excess of Loss dan Stop Loss).
Dalam praktiknya sampai saat ini, perusahaan penjaminan di Indonesia menggunakan beberapa metode penjaminan ulang melalui perusahaan reasuransi, (karena belum ada Perusahaan Reguarantee / Perusahaan Penjaminan Ulang), antara lain:
1. Treaty Reinsurance: Perjanjian di mana perusahaan penjaminan secara otomatis mengalihkan risiko tertentu kepada perusahaan reasuransi berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Perjanjian ini biasanya berlaku untuk periode tertentu, misalnya 12 bulan.
2. Fakultatif Reinsurance: Pengalihan risiko yang dilakukan secara individual untuk setiap risiko atau proyek tertentu. Dalam metode ini, perusahaan penjaminan dan perusahaan reasuransi memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak risiko yang ditawarkan.
3. Facultative Obligatory Reinsurance: Kombinasi antara metode fakultatif dan treaty, di mana perusahaan penjaminan memiliki opsi untuk menawarkan risiko tertentu kepada perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi wajib menerima risiko tersebut sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
4. Pools: Beberapa perusahaan penjaminan atau reasuransi membentuk suatu kumpulan (pool) untuk bersama-sama menanggung risiko tertentu. Metode ini digunakan untuk risiko dengan eksposur tinggi yang sulit ditanggung oleh satu perusahaan saja.
Penting dan perlu dicatat bahwa setelah berdirinya perusahaan Penjaminan Ulang di Indonesia, pengalihan risiko melalui Perusahaan Reasuransi tidak lagi diperkenankan (Industri Penjaminan / UU No 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan berbeda dengan Industri Asuransi / UU No.40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian). Oleh karena itu, pendirian perusahaan penjaminan ulang menjadi penting untuk mendukung industri penjaminan di Indonesia.
Ketentuan modal dasar minimum yang ditetapkan untuk pendirian perusahaan penjaminan ulang di Indonesia adalah sebesar Rp1 triliun. Dengan demikian, hingga terbentuknya perusahaan penjaminan ulang domestik, Perusahaan Penjaminan di Indonesia akan terus mengandalkan Perusahaan Reasuransi untuk mengelola dan mengalihkan sebagian risiko mereka.
Lanjut Baca : Peran Broker serta Agen Penjaminan dan Penjaminan Ulang
———-
Disusun dari berbagai sumber referensi oleh:
Dr. Diding S. Anwar, FMII.
Ketua Komite Tetap Penjaminan, Asuransi, & Dana Pensiun KADIN Indonesia Bidang FMIK (Fiskal, Moneter, Industri Keuangan).