
Oleh : Diding S. Anwar
Di sebuah kampung usaha kecil di Purwakarta, Jawa Barat, seorang pelaku UMKM pengolah makanan ringan pernah mengeluh:
“Kami punya banyak pesanan, tapi bank masih ragu memberi pinjaman. Katanya, usaha kami terlalu berisiko.”
Cerita sederhana ini bukan sekadar kisah lokal, melainkan cermin realitas nasional.
UMKM, yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja Indonesia, masih sering dianggap “berisiko tinggi” oleh lembaga keuangan.
Perusahaan penjaminan hadir sebagai jembatan kepercayaan—menghubungkan pelaku usaha kecil dengan dunia perbankan dan lembaga keuangan.
Namun, jembatan ini hanya akan kokoh jika ditopang pilar yang kuat: tata kelola dan manajemen risiko yang disiplin.
Jika pilar rapuh, jembatan runtuh, dan dampaknya merembet ke seluruh ekosistem: dari UMKM, perbankan, hingga stabilitas sistem keuangan nasional.
Fiduciary Duty: Amanah yang Tak Boleh Diabaikan
Di sinilah peran Direksi dan Dewan Komisaris menjadi krusial.
Direksi dan Dewan Komisaris bukan hanya pemimpin organisasi, tetapi juga penjaga amanah.
Fiduciary duty mengharuskan mereka bertindak demi kepentingan perusahaan dan pemangku kepentingan, bukan demi kepentingan pribadi.
Tiga prinsip pokok fiduciary duty
1. Duty of Care menjalankan fungsi dengan kehati-hatian, kompetensi, dan profesionalisme.
2. Duty of Loyalty mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi.
3. Duty to Comply memastikan kepatuhan terhadap hukum, regulasi, dan tata kelola.
Prinsip ini bukan jargon hukum belaka. Mereka adalah kompas moral sekaligus pilar kepemimpinan. Mengabaikannya sama dengan meruntuhkan jembatan kepercayaan yang menopang UMKM dan ekonomi nasional.
Regulasi sebagai Penegas Amanah
Fiduciary duty tidak hanya tuntutan moral, tetapi juga amanat regulasi.
UU No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan – menegaskan prinsip kehati-hatian.
UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK – memperluas kewajiban tata kelola risiko di lembaga keuangan.
POJK No. 2/2017 – menempatkan Komisaris dan Direksi sebagai pusat pengendali tata kelola.
SEOJK No. 17/2019 – mewajibkan penerapan empat modul manajemen risiko secara menyeluruh.
POJK No. 10/2025 – memberi koridor pengendalian risiko melalui Gearing Ratio.
Semua ini berpulang pada satu pesan: tanpa fiduciary duty, tata kelola hanyalah formalitas.
Belajar dari Praktik Global
OECD (2021): dewan harus aktif dalam risk oversight.
Basel Committee: Three Lines of Defense menegaskan akuntabilitas.
KODIT Korea: memanfaatkan big data untuk prediksi risiko UMKM.
JCGC Jepang: membangun sistem reguarantee yang menjaga likuiditas.
Semua bukti ini mengarah pada satu hal: Kepemimpinan puncak adalah faktor penentu keberhasilan tata kelola risiko.
Refleksi Kepemimpinan: Jangan Pernah Gadaikan Amanah
Fiduciary duty adalah jiwa kepemimpinan dalam industri penjaminan. Setiap keputusan—dari inovasi produk, penetapan risk appetite, hingga pelaporan ke regulator—harus melewati lensa amanah ini.
Jika dilanggar, yang runtuh bukan hanya angka dalam neraca, tetapi juga kepercayaan publik, akses UMKM terhadap pembiayaan, dan masa depan ekonomi rakyat.
Maka, dari Purwakarta hingga ke panggung nasional, dari kisah sederhana hingga strategi global, pesannya tegas:
Jangan pernah menggadaikan amanah.
Tulisan ini disajikan sebagai ikhtiar menebar energi positif, dengan harapan refleksi tentang fiduciary duty dapat menjadi pegangan moral, hukum, dan strategis bagi setiap insan industri penjaminan.
Mari berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. 🤲🙏
dsa