
Tiga warga desa Lebak Jabung, Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur melakukan aksi jalan kaki selama delapan hari untuk mengantar surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kedatangan mereka meminta Jokowi untuk menolak tambang di Sungai Boro, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur
Aksi itu dilakukan oleh Ahmad
Yani (45), Sugiantoro (31), dan Heru Prasetiyo (24) yang melakukan aksi jalan
kaki sejak 26 Januari 2020 lalu dari Mojokerto ke Istana Negara, Jakarta Pusat.
Bermodalkan secarik bendera merah putih, beberapa pakaian
ganti, dan uang saku sebesar Rp602 ribu. Mereka menyusuri jalur Selatan mulai
Mojokerto, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Sragen, Boyolali, Salatiga, hingga Semarang,
dan terkahir di Jakarta.
“Uang tersebut berasal dari donasi warga Lebak Jabung mendukung ikhtiar dan usaha kami untuk menemui Presiden,” kata salah satu warga Mojokerto, Ahmad Yani saat berorasi bersama aksi kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020).
Ia kebingungan mencari perlindungan akibat teror para preman sewaan perusahaan tambang yang tengah menjarah pasir dan batu andesit di kampung halamannya.
Hal ini diungkapkan oleh Ahmad Yani (45), Pasalnya teror yang diterima berupa ancaman yang serius.
“Kami diintimidasi akan dibunuh, diculik, dilaporkan polisi, setelah melaporkan penambangan kepada Gubernur Jawa Timur,” tutur Ahmad Yani dalam keterangan tertulis WALHI Jawa Timur.
Ahmad Yani adalah satu di antara 80 persen warga yang menolak tambang di desa dengan penduduk sekitar 1.700 jiwa tersebut. Mayoritas menolak kehadiran perusahaan tambang CV Sumber Rejeki dan CV Rizky Abadi yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan didesa mereka. Kedua perusahaan tersebut memulai penambangan sejak 7 Desember 2019.
Warga kemudian beramai-ramai melaporkan kasus penambangan kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 7 Januari 2020 lalu.
Selepas menggelar demonstrasi di kantor gubernur, satu per satu rumah warga didatangi oleh preman perusahaan. Mereka mengintimidasi warga, termasuk Ahmad Yani agar tidak memprotes penambangan yang terjadi di Lebak Jabung. Yani was-was dan memutuskan pergi ke Kota Mojokerto untuk mencari keamanan.
Tak berapa lama, dua warga lain penolak tambang, Heru Prasetyo dan Sugiantoro, menyusulnya untuk memberi dukungan. “Saat itu kami bertiga memutuskan untuk jalan kaki ke Jakarta, bermaksud bertemu Pak Jokowi untuk mencari keadilan.”
Mereka berjalan hampir 22 jam setiap hari, atau hanya 2 jam istirahat setiap menjelang Subuh hingga terbit fajar. Pada 29 Januari, mereka mengalami kelelahan hingga hampir pingsan ketika tiba di Semarang. Ketiga orang itu kemudian menyempatkan istirahat di sebuah mushala. “Pas istirahat sepatunya saya dicuri orang. Saya kemudian berjalan tanpa alas sekitar 20 kilometer hingga masuk Kabupaten Kendal,” cerita Yani.
Setelah tiga hari berjalan kaki, mereka menemui keberuntungan setelah mendapat pertolongan dari Komunitas Panther RC2 Semarang. Ketiganya diberi tumpangan secara estafet dari Semarang hingga hingga Cikarang, Jawa Barat. Kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki, hingga tiba di Jakarta pada Jumat (31/1) sore.
Senin (2/2) kemarin, Yani beserta kawan-kawannya mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk melaporkan kasus perusakan lingkungan oleh perusahaan tambang yang terjadi di desanya. Mereka diterima oleh Direktorat Jendral Penegakkan Hukum Kementerian LHK. Dalam laporannya, selain mengadukan kerusakan lingkungan yang sudah diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, warga juga melaporkan dugaan adanya pidana lingkungan serta pelanggaran izin oleh perusahaan. Antara lain perihal penambangan di badan Sungai Boro (Selo Malang) serta perambahan kawasan Hutan Lindung oleh aktivitas pertambangan.
Selanjutnya, ketiga perwakilan warga ini akan tetap bertahan di Jakarta hingga besa bertemu dengan Jokowi dan mengadukan langsung permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi di desanya.
Mencuatnya kembali konflik-konflik akibat pertambangan yang terus terjadi belakangan ini menimbulkan pertanyaan terkait komitmen penataan kawasan di Jawa Timur oleh pemerintah. Telah berulang kali wilayah di Jawa Timur bergejolak akibat dibukanya kawasan-kawasan pertambangan yang menyebabkan ancaman terhadap keselamatan ekologis wilayah tersebut.
Data yang dihimpun melalui Korsup KPK (Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah IUP di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibanding data Kementrian ESDM di tahun 2012 yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016. Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektar, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektar.
Dengan mengacu angka dalam dua dokumen ini maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 535% hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja. Sementara menurut pernyataan kepala ESDM Jawa Timur pada tahun 2019 terdapat 400 aktivitas pertambang ilegal tercatat ada di seluruh 29 kabupaten dan kota di Jawa Timur.
“Bagi WALHI, situasi ini adalah bentuk pengabaian yang dilakukan pemerintah terhadap situasi warganya,” ungkap Wahyu Agung dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Semakin menjamurnya pembukaan kawasan pertambangan baik yang legal maupun illegal ini ditengarai juga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan material pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Eksploitasi tambang juga terjadi di area yang tak seharusnya ditambang, seperti persawahan atau daerah lain yang bukan wilayah pertambangan menurut peta perencanaan pemerintah daerah setempat.
“Banyak terjadi modus di mana tambang-tambang illegal mengatasnamakan izin yang sudah ada sebelumnya. Ini hanya modus perusahaan untuk menghindari kewajibannya serta intrik agar bisa menambang di kawasan-kawasan terlarang untuk aktivitas pertambangan,” ungkap Ki Bagus dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).