
Benang Merah: BPI Danantara, BP BUMN, BUMN PSO, dan BUMN Komersial ???
Negara Tidak Boleh Absen
Negara tidak boleh absen dari tugas mulianya melayani rakyat. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menegaskan bahwa cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari amanah konstitusi inilah lahir Public Service Obligation (PSO)—kewajiban negara menghadirkan layanan dasar meskipun secara komersial sering kali tidak menguntungkan.
PSO adalah wajah operasional dari negara yang benar-benar hadir: bukan sekadar wacana, tetapi layanan konkret untuk rakyat.
Wajah Nyata PSO Sehari-Hari
PSO hadir begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tiket kereta ekonomi yang tetap murah, program bahan bakar minyak (BBM) satu harga di pelosok negeri, listrik yang masuk ke desa-desa terpencil, layanan pos di perbatasan, santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas dan penumpang angkutan umum oleh Jasa Raharja, hingga program pemerintah dalam penguatan dan pengembangan UMKM serta koperasi yang ditopang ekosistem penjaminan melalui Jamkrindo.
Semua ini adalah bukti nyata negara hadir melindungi rakyatnya. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seindah konsep di atas kertas. Banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) komersial masih harus menutup biaya PSO dari laba usaha mereka, tanpa kontrak yang jelas dan tanpa akuntabilitas yang memadai. Di sinilah muncul jurang antara De Facto—praktik nyata—dan De Jure—aturan ideal yang mestinya berlaku.
Dari Das Sein ke Das Sollen
Praktik yang berjalan selama ini mencerminkan Das Sein: PSO masih dijalankan dengan pola yang harus dibenahi, penuh subsidi silang, beban melekat pada BUMN, dan minim transparansi. Dampaknya cukup serius—daya saing BUMN menurun, kepercayaan publik melemah, dan manfaat PSO tidak selalu sampai secara optimal.
Sebaliknya, yang diharapkan adalah Das Sollen: PSO yang sehat, transparan, terukur, dan terjamin pendanaannya. Negara tetap hadir secara akuntabel, sementara BUMN komersial bisa berfokus pada inovasi dan meningkatkan daya saing di panggung global.
Pilar Hukum BUMN dari Masa ke Masa
Kehadiran BUMN tidak lahir begitu saja, melainkan dibingkai oleh pilar hukum yang terus berkembang sesuai zaman.
Dimulai dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, yang menegaskan peran negara dalam mengelola cabang produksi penting. Kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang mengklasifikasikan BUMN menjadi Perjan, Perum, dan Persero, menyesuaikan kebutuhan pengelolaan usaha negara saat itu.
Memasuki era reformasi, lahirlah Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang berlaku hingga kini, sebagai landasan utama pengelolaan BUMN modern. UU ini mengatur bentuk hukum BUMN, mekanisme pengelolaan, hingga prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Kini, di tahun 2025, hadir rencana revisi Undang-Undang BUMN. Revisi ini memperkenalkan Separation Rule, pemisahan peran sosial dan komersial BUMN, agar masing-masing fokus, profesional, dan tidak saling membebani. Pilar hukum yang berlapis ini menunjukkan perjalanan panjang bagaimana negara menata peran BUMN, dari sekadar alat produksi, menjadi agen pembangunan, hingga kini diharapkan tampil sebagai korporasi global yang sehat tanpa meninggalkan mandat sosial.
Separation Rule: Paradigma Baru BUMN
Revisi Undang-Undang BUMN 2025 mencoba menutup jurang antara cita-cita dan kenyataan dengan menghadirkan paradigma baru: Separation Rule. Pemisahan ini membuat peran sosial dan komersial BUMN lebih bersih, fokus, dan akuntabel.
Dalam kerangka baru ini, BPI Danantara berfungsi sebagai pengelola investasi yang menangani holdingisasi BUMN komersial. BP BUMN hadir sebagai regulator independen yang memastikan kontrak PSO dijalankan sesuai prinsip tata kelola yang baik. BUMN PSO ditugaskan khusus melaksanakan layanan publik dengan mandat undang-undang sektoral serta kompensasi jelas. Sementara BUMN komersial diarahkan untuk mengejar profitabilitas, inovasi, dan daya saing.
Untuk mempertegas peran, BUMN PSO idealnya berbentuk Perusahaan Umum (Perum), sedangkan BUMN komersial berbentuk Perseroan Terbatas (PT) Persero. Dengan pembedaan ini, amanah konstitusi tetap terjaga, PSO tidak lagi menjadi beban tersembunyi, dan BUMN tetap sehat menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
PSO sebagai Kontrak Publik
PSO ke depan tidak boleh lagi diperlakukan hanya sebagai penugasan sepihak. Ia harus berbentuk Public Service Contract—kontrak layanan publik yang jelas, transparan, dan mengikat.
Pemerintah sebagai principal menetapkan lingkup pekerjaan, standar pelayanan minimum, jangka waktu, serta kompensasi.
BUMN sebagai agent melaksanakan kewajiban sesuai kontrak. Sementara BP BUMN memastikan kontrak itu berjalan adil bagi rakyat sekaligus sehat bagi keuangan BUMN.
Dengan kontrak publik yang transparan, jurang antara Das Sein dan Das Sollen dapat dijembatani.
Pendanaan Transparan dan Akuntabel
Prinsip pendanaan PSO harus bersih dan akuntabel. Biaya PSO sepenuhnya ditanggung negara, bukan disubsidi dari laba BUMN komersial. Sumbernya berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), atau dana khusus seperti Universal Service Obligation (USO) maupun Dana Lalu Lintas.
Seluruh anggaran dialokasikan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dana sektoral khusus, diaudit setiap tahun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau akuntan publik. Kinerjanya diukur melalui Key Performance Indicator (KPI): keterjangkauan harga, kualitas layanan, hingga kepuasan masyarakat.
Implementasi Konkret
Contoh nyata pelaksanaan PSO bisa kita lihat di berbagai sektor. Di bidang transportasi, ada subsidi tiket kereta ekonomi, kapal rakyat, hingga angkutan pedesaan di pelosok. Di sektor energi, program BBM satu harga dan listrik desa dengan dukungan APBN menjadi wajah PSO yang nyata. Di bidang asuransi sosial, Jasa Raharja menghadirkan santunan kecelakaan lalu lintas dan penumpang angkutan umum.
Untuk pengembangan UMKM dan koperasi, Jamkrindo memainkan peran penting dalam memperkuat akses pembiayaan dan penjaminan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang didukung subsidi Imbal Jasa Penjaminan (IJP) dari APBN. Sementara di sektor komunikasi, layanan pos di daerah terpencil tetap bertahan berkat Dana USO.
Semua ini menegaskan bahwa negara memang hadir, tetapi kini dengan pendekatan yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
Benang Merah Konstitusi → PSO
Rangkaian ini memperlihatkan benang merah yang jelas dan tak terputus. De Jure, konstitusi mengamanahkan negara hadir untuk rakyat. De Facto, praktik PSO masih menyisakan kelemahan. Das Sollen, cita-cita yang harus diwujudkan, adalah PSO yang transparan, kontraktual, adil, dan terukur. Dan jalan menuju cita-cita itu adalah Separation Rule: rakyat terlindungi, BUMN komersial kompetitif, dan negara tetap hadir.
PSO yang terpercaya adalah fondasi bangsa yang sejahtera.
Mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan, demi kemaslahatan rakyat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 🇮🇩
mrdinkjournal.com
dsa, 29092025 🤲🙏