
Keuanganonline.id, Jakarta – Menteri Keuangan (menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa resmi mengumumkan penyaluran dana saldo anggaran lebih (SAL) senilai Rp 200 triliun ke lima bank milik negara (Himbara) untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional yang tengah lesu.
Kebijakan tersebut mendapatkan respon dari berbagai kalangan, salah satunya Pengamat Intelijen, Surya Fermana. Ia menilai kebijakan tersebut merupakan langkah yang keliru dan berisiko tinggi, yang berpotensi mengulang kegagalan masa lalu seperti skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998.
“Keputusan ini mencerminkan kurangnya kehati-hatian fiskal dan bisa membawa Indonesia menuju krisis keuangan baru, yang oleh banyak pengamat disebut sebagai BLBI jilid 2. Ada beberapa hal yang menjadi kesalahan dari Menkeu Sadewa dalam hal ini,” ungkap Surya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (13/9/2025).
Ia menyatakan, kebijakan ini mencerminkan kesalahan strategis Menkeu Purbaya dalam mengelola cadangan likuiditas negara. Dana Rp425 triliun yang mengendap di Bank Indonesia (BI) adalah bantalan penting untuk menjaga stabilitas moneter dan fiskal, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global dan meningkatnya defisit anggaran.
Dengan menarik Rp200 triliun, lanjutnya, hampir setengah dari cadangan tersebut pemerintah secara efektif melemahkan posisi keuangannya sendiri. Langkah ini menunjukkan bahwa negara sedang dalam kondisi fiskal yang sangat rapuh, di mana pemerintah terpaksa “meminjam” dana internal untuk menutupi kekurangan likuiditas, alih-alih mencari solusi struktural seperti memperbaiki penerimaan pajak atau mengendalikan belanja negara.
“Penempatan dana ini di bank BUMN, meskipun dalam bentuk deposito berjangka, berisiko tinggi karena bank bisa menggunakan dana tersebut untuk menutupi kredit macet atau ekspansi kredit berisiko tanpa pengawasan yang memadai, mengingat sejarah buruk tata kelola di sektor perbankan negara,” ujarnya.
Surya mengatakan, dengan memasukkan Rp200 triliun ke bank-bank himbara tersebut, pemerintah berpotensi memberikan “bantuan likuiditas” terselubung, yang memungkinkan bank untuk menutupi kerugian tanpa memperbaiki tata kelola atau portofolio kredit mereka.
“Ini mirip dengan BLBI 1998, ketika dana negara disalurkan ke bank-bank bermasalah tanpa akuntabilitas yang jelas, menyebabkan kerugian hingga Rp650 triliun dan tuduhan korupsi yang mengguncang kepercayaan publik,” tambahnya.
Surya menilai, Purbaya gagal mengantisipasi risiko sistemik yang akan ditimbulkan oleh kebijakan ini. Bank BUMN, yang sering menjadi alat politik pemerintah untuk mendanai proyek-proyek strategis, memiliki sejarah buruk dalam hal transparansi dan akuntabilitas, dan dana Rp200 triliun ini bisa dialihkan untuk mendanai proyek berisiko tinggi, atau bahkan disalahgunakan melalui praktik korupsi.
Lebih buruk lagi, kebijakan ini bisa memicu inflasi jika kredit yang disalurkan oleh bank tersebut tidak produktif.
BLBI jilid 2 bukanlah isapan jempol, melainkan peringatan nyata atas kesalahan Sadewa dalam merumuskan kebijakan ini. BLBI 1998 terjadi karena pemerintah saat itu memberikan bantuan likuiditas tanpa syarat ketat, yang berakhir dengan penyalahgunaan dana dan kerugian besar bagi negara.
Menurutnya, kebijakan Purbaya memiliki pola serupa: menyuntikkan dana besar ke bank tanpa reformasi struktural yang jelas, tanpa transparansi penuh. Jika dana ini gagal menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan atau malah hilang akibat salah kelola, beban fiskal akan jatuh ke APBN melalui biaya bunga, penyelamatan bank, atau bahkan krisis keuangan yang lebih luas.
Dengan kata lain, tambah dia, Purbaya telah mempertaruhkan kredibilitas fiskal Indonesia demi solusi jangka pendek yang berisiko tinggi, mengabaikan pelajaran dari sejarah kelam BLBI. Kebijakan ini, jika tidak segera dikoreksi dengan pengawasan ketat dan reformasi perbankan, berpotensi menjadi bencana ekonomi yang akan membebani rakyat Indonesia untuk waktu yang lama. Kebijakan itu juga membuat menurunnya
“kepercayaan investor akan kondisi ekonomi RI karena dianggap Bank-Bank udah kekeringan likuiditas (Kas Kosong),” imbuhnya.