
Oleh : Diding S. Anwar
“Mengasah kebersamaan, mengasihi sesama, dan mengasuh kehidupan.”
Perjalanan senja hari dari Lampung ke Jakarta dalam Seat 3A menjadi refleksi tentang makna Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh.
Seperti penerbangan yang melewati langit cerah dan turbulensi, hidup pun penuh pasang surut.
3A:
Asah mengajarkan kita untuk terus belajar dan mengasah kebijaksanaan.
Asih menumbuhkan kasih yang menghangatkan di tengah dinginnya ujian.
Asuh mengajak kita saling menjaga dan menguatkan agar tak ada yang tertinggal sendirian.
Di atas langit, kita diingatkan bahwa tujuan sejati bukan hanya sampai di destinasi, tetapi sampai dengan hati yang utuh, pikiran yang jernih, dan niat yang penuh kebaikan.
Minggu, 10 Agustus 2025
Perjalanan dari Lampung ke Jakarta malam itu bukan sekadar perpindahan dari satu kota ke kota lain. Usai menghadiri kenduri pernikahan putra sahabat baik, seorang yang menjabat dan memegang amanah rakyat dengan keteladanan, saya bersama Pimpinan dan rombongan Petinggi Asosiasi pertama, terbesar, dan tertua yang menaungi pengusaha konstruksi yang telah terbukti mengabdi untuk pembangunan negeri. Kami menaiki maskapai penerbangan nasional ternama dan merakyat dengan nomor penerbangan JT 123.
Nomor penerbangan JT 123 saya maknai sebagai bekal kehidupan:
J = Jalani setiap langkah dengan tujuan yang jelas.
T = Teguhkan hati dalam menghadapi tantangan.
1 = Ingat pada satu arah tujuan hidup yang bermakna dan bernilai.
2 = Seimbangkan dua hubungan utama: dengan kekuatan yang lebih besar dari diri kita, dan dengan sesama manusia.
3 = Pegang teguh tiga prinsip kehidupan: Asah, Asih, dan Asuh.
Duduk di Seat 3A, saya merenungi arti kebersamaan, silaturahmi, dan keteguhan hati di tengah “turbulensi” yang bisa hadir kapan saja, baik di udara maupun dalam kehidupan.
Terbang senja hari dari Radin Inten II Lampung,
Cicipi durian, manis menggoda.
Mendarat malam di Soekarno-Hatta nan agung,
Seat 3A jadi guru makna dan teladan jiwa.
Catatan Perjalanan & Renungan
Berangkat di senja hari dari Bandara Radin Inten II Lampung menuju Bandara Soekarno-Hatta. Langit mulai meredup ketika pesawat menembus awan. Dari jendela pesawat, cahaya lampu kota perlahan memudar, berganti gelapnya bentangan langit yang luas.
Beberapa menit setelah mengudara, pesawat mulai berguncang. Turbulensi, meski singkat, menjadi pengingat bahwa hidup ini adalah serangkaian ujian. Kita tidak selalu bisa mengendalikan keadaan, namun kita bisa memilih sikap. Dan ketika bersama rekan perjalanan yang saling menguatkan, guncangan terasa jauh lebih ringan.
Pengalaman ini selaras dengan makna “turbulensi kehidupan”:
1. Ketabahan
Bersikap tenang dan teguh ketika keadaan di luar kendali.
2. Upaya Bermakna
Tetap melakukan hal positif meski di tengah ujian.
3. Kesadaran akan Keterhubungan Mengandalkan kekuatan batin dan dukungan lingkungan sekitar untuk melewati masa sulit.
Seperti pilot, co-pilot, dan awak kabin yang menavigasi pesawat, kita menjalani hidup dengan pengetahuan, pengalaman, panduan moral, dan kesadaran bahwa pada akhirnya, perjalanan ini adalah kesempatan untuk belajar, berkembang, dan memberi dampak baik.
Dari ketinggian, melihat ke bawah membuat kita rendah hati, dan menatap ke atas mengingatkan kita akan keluasan semesta yang melampaui batas pemahaman kita.
Turbulensi, baik di udara maupun di hidup, adalah pengingat bahwa kita hanyalah penumpang yang sementara singgah di dunia.
Santap siang ayam goreng Begadang,
Hangatnya tawa sahabat tak terlupa.
Badai dan angin silih bergandang,
Hati terpadu meniti langkah bahagia.
“Seperti penerbangan yang melewati badai dan cahaya, hidup mengajarkan kita bahwa ketenangan, kasih, dan kepedulian akan selalu menjadi kompas menuju tujuan sejati.”
dsa
Berlomba-lombalah dalam kebaikan, karena setiap langkah yang kita ambil hari ini adalah jejak yang akan diingat oleh masa depan.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.