
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (Antara)
Jakarta, Keuanganonline.id – Nilai tukar rupiah berhasil menguat di tengah ketidakpastian ekonomi global, setelah pasar merespons positif langkah pemerintah Indonesia yang terus melanjutkan negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat (AS). Penguatan ini dinilai menjadi sinyal kepercayaan pasar terhadap stabilitas kebijakan ekonomi Indonesia, meski tekanan dari kebijakan perdagangan AS masih menghantui.
Pada penutupan perdagangan Kamis (10/7/2025), rupiah tercatat menguat 34 poin atau sekitar 0,21 persen ke posisi Rp16.224 per dolar AS. Sebelumnya, rupiah berada di level Rp16.258 per dolar AS. Data kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis Bank Indonesia juga menunjukkan penguatan rupiah ke level Rp16.220 per dolar AS, naik dari Rp16.254 per dolar AS pada perdagangan sebelumnya.
“Pasar melihat adanya itikad baik dari kedua negara untuk mencari solusi bersama terkait kebijakan tarif. Hal ini menjadi sentimen positif yang menopang penguatan rupiah,” ujar Ibrahim Assuabi, Direktur Laba Forexindo Berjangka, dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Apa yang Sedang Dinegosiasikan Indonesia dan AS?
Indonesia dan AS saat ini tengah melanjutkan pembicaraan terkait kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada 7 Juli 2025 lalu. Dalam kebijakan tersebut, AS berencana mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk ekspor asal Indonesia, terutama sejak Indonesia resmi menjadi anggota BRICS.
Langkah AS ini dikhawatirkan memukul kinerja ekspor Indonesia, sekaligus memperburuk defisit neraca perdagangan. Namun, pemerintah Indonesia berusaha mengantisipasi dampak tersebut dengan terus membangun komunikasi intensif bersama pihak AS.
Siapa Saja yang Terlibat dalam Negosiasi?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang ditunjuk sebagai pimpinan delegasi Indonesia, telah bertemu langsung dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dan Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/USTR) Jamieson Greer di Washington D.C.
“Komunikasi kedua belah pihak terus dibangun agar mendapatkan win-win solution,” kata Ibrahim.
Airlangga sendiri menyatakan apresiasinya atas jalannya proses negosiasi yang selama ini berlangsung konstruktif. Ia menekankan pentingnya menjaga hubungan dagang yang saling menguntungkan, terutama di tengah tantangan ekonomi global.
Apa yang Dibahas dalam Negosiasi?
Isu yang dibahas dalam pertemuan bilateral ini tidak hanya soal tarif semata. Pemerintah Indonesia dan AS juga membicarakan sejumlah topik strategis seperti hambatan non-tarif, ekonomi digital, keamanan ekonomi, hingga peluang kerja sama komersial dan investasi.
Salah satu sektor yang menjadi sorotan adalah kerja sama di bidang mineral kritis. Kedua negara melihat potensi besar untuk memperluas kolaborasi di sektor ini, mengingat tingginya permintaan global terhadap komoditas mineral strategis yang diperlukan dalam transisi energi bersih.
“Sejak tarif dasar 32 persen diberlakukan atas sejumlah produk ekspor Indonesia pasca keanggotaan di BRICS, pemerintah aktif menyusun skema untuk meredam dampaknya. Opsi yang disiapkan termasuk deregulasi hingga peningkatan impor dari AS. Namun, hingga kini belum ada sinyal perubahan dari Washington,” jelas Ibrahim.
Bagaimana Dampak Kebijakan The Fed?
Di sisi lain, sentimen eksternal juga memengaruhi pergerakan rupiah. Ibrahim menyebutkan bahwa sebagian besar pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memprediksi penurunan suku bunga pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) mendatang. Alasannya, tekanan inflasi mulai mereda, meski masih ada kekhawatiran atas potensi pelemahan ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Namun, beberapa pejabat The Fed lainnya memilih bersikap hati-hati dan belum melihat urgensi untuk mengubah kebijakan suku bunga sepanjang 2025. Ketidakpastian arah kebijakan The Fed ini menjadi salah satu faktor yang terus memengaruhi sentimen pasar terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Indonesia dan AS dijadwalkan akan melanjutkan pembahasan intensif terkait kebijakan tarif dalam tiga minggu ke depan. Pemerintah berharap negosiasi ini akan menghasilkan keputusan yang adil, sehingga tidak menghambat laju ekspor Indonesia.
Pasar saat ini menanti kepastian hasil negosiasi, mengingat tarif tinggi berpotensi melemahkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Kendati begitu, penguatan rupiah dalam beberapa hari terakhir menjadi indikasi bahwa pelaku pasar masih menaruh optimisme pada kemampuan pemerintah menjaga stabilitas ekonomi di tengah gejolak eksternal. (*)