
Penguatan Group Asuransi BUMN Penting, Namun Konstitusi dan Amanah Sosial Negara Harus Jadi Pijakan Utama
Langkah pemerintah melalui Danantara untuk mengonsolidasikan BUMN sektor asuransi adalah langkah strategis dan progresif yang layak diapresiasi.
Tujuan jangka panjangnya sangat jelas dan rasional yaitu memperkuat struktur permodalan, meningkatkan kapasitas retensi risiko, menyederhanakan rantai nilai, serta menekan biaya operasional dan duplikasi fungsi.
Di tengah rendahnya penetrasi asuransi yang masih di bawah 3% terhadap PDB nasional, penguatan grup asuransi BUMN menjadi kebutuhan mendesak dalam membangun daya tahan keuangan nasional.
Namun demikian, dalam menjalankan agenda penguatan tersebut, hendaknya kita tidak terjebak pada pendekatan tunggal yang mengasumsikan semua entitas memiliki kebutuhan dan peran yang sama. Don’t assume one size fits all.
Industri Asuransi dan Industri Penjaminan bukanlah mesin pabrik yang memproduksi barang seragam, melainkan sistem pelayanan publik berbasis kepercayaan, tata kelola, dan keberpihakan. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan harus berpijak pada realitas de facto tanpa mengabaikan legitimasi de jure yang menjadi dasar keberadaan masing-masing lembaga.
Jangan Lupakan Pijakan Konstitusi dan Amanah Sosial Negara
Dalam semangat membangun sektor asuransi nasional yang sehat, kita perlu tetap berpijak pada prinsip-prinsip konstitusional dan hukum positif (das Sollen) yang telah digariskan negara.
1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menegaskan bahwa hubungan hukum dalam asuransi bersifat dua pihak yaitu penanggung dan tertanggung.
Ini adalah kontrak berlandaskan premi, dengan karakteristik perlindungan yang dapat bersifat indemnity atau manfaat.
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK memberikan penekanan terhadap perluasan perlindungan masyarakat melalui instrumen asuransi dan lembaga keuangan non-bank.
Namun demikian, tetap ada amanah eksplisit bahwa negara melalui entitas sosial seperti Jasa Raharja tetap bertanggung jawab menyediakan perlindungan dasar secara universal, tidak semata berbasis kepentingan korporasi.
Dalam konteks ini, kita diingatkan bahwa apa yang seharusnya berlaku (das Sollen) tidak boleh dikaburkan oleh apa yang sedang berlangsung (das Sein). Konsolidasi yang berbasis efisiensi dan profitabilitas semata, tanpa mempertimbangkan mandat sosial dan konstitusional, bisa menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Industri Asuransi beda dengan Industri Penjaminan
Masih banyak terjadi kerancuan pemahaman bahwa asuransi dan penjaminan adalah entitas yang serupa. Padahal secara prinsip, hukum, dan tujuan, keduanya sangat berbeda.
Industri asuransi bekerja atas dasar kontrak dua pihak (penanggung – tertanggung), dengan skema pembayaran manfaat atas premi yang dibayarkan. Perlindungan ini bersifat kompensatoris dan berbasis risiko personal atau kelompok.
Industri penjaminan, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2016, bersifat tiga pihak: penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Fungsi utamanya adalah memfasilitasi akses UMKM, Koperasi, atau proyek strategis terhadap pembiayaan atau pengadaan, bukan memberi kompensasi atas risiko, melainkan menjadi pihak penanggung risiko kredit/kontrak.
Maka dari itu, memasukkan Industri Penjaminan ke dalam Holding Asuransi tanpa kebijakan pemisahan fungsi dan kepatuhan hukum yang tepat adalah bentuk simplifikasi kelembagaan yang berpotensi menimbulkan mismatch secara hukum, peran, dan nilai manfaat publik.
Layanan Harus Kontekstual, Bukan Seragam
Transformasi sektor keuangan non-bank haruslah berpijak pada realitas kebutuhan masyarakat. Pelaku usaha mikro, masyarakat desa, korban kecelakaan, pekerja migran, maupun korporasi besar, semuanya memiliki kebutuhan perlindungan yang berbeda. Maka, pendekatan layanan yang kontekstual menjadi lebih penting daripada sekadar mengejar keseragaman sistem.
Dalam konteks ini, struktur kelembagaan dan model bisnis haruslah beragam dan disesuaikan dengan segmentasi kebutuhan masyarakat. Kita tidak sedang membangun entitas yang serba efisien secara statistik semata, melainkan sistem yang mampu menjangkau yang paling lemah dan memberi harapan kepada yang paling tidak terlindungi.
Menjaga Amanah De Jure, Menjawab Tantangan De Facto
Keberhasilan konsolidasi BUMN Asuransi tidak cukup diukur melalui laporan keuangan atau rating internasional. Indikator utama keberhasilan sesungguhnya adalah sejauh mana lembaga-lembaga ini menghadirkan perlindungan yang bermakna bagi rakyat banyak, terutama mereka yang berada di luar jangkauan sistem keuangan formal.
De jure, negara telah meletakkan amanah dalam bentuk Undang-Undang dan mandat sosial.
De facto, lembaga pelaksana wajib menjawabnya dengan kesungguhan, bukan sekadar kepatuhan administratif.
Diferensiasi, Segmentasi, dan Keberpihakan adalah Kunci
Konsolidasi Asuransi BUMN adalah momentum emas. Namun jangan sampai hanya melahirkan entitas besar yang kehilangan ruh pelayanannya. Jangan pula pendekatan “one size fits all” menyingkirkan nilai-nilai keadilan sosial.
Mari bangun ekosistem Industri Asuransi dan Industri Penjaminan Nasional yang berlandaskan pada diferensiasi fungsi, segmentasi pasar, keberpihakan sosial, dan kesetiaan terhadap konstitusi.
Karena pada akhirnya, yang kita bangun bukan sekadar holding bisnis, tetapi alat kehadiran negara untuk mewujudkan keadilan sosial yang berkelanjutan.
Fastabiqul khairat
Berlomba lombalah dalam kebaikan.
Aamiin Ya Rabbal Alamin
Diding S.Anwar
Pengamat dan Pemerhati Industri Perasuransian dan Industri Penjaminan.