
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah lama diakui sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Menurut data Kemenkop UKM 2022, setiap tahunnya sektor UMKM terus tumbuh sebesar 2,02% dengan proporsi 99,9% dari total pelaku bisnis Indonesia. Sektor ini menyumbang lebih dari 60,5% PDB nasional dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Namun, di balik kontribusi signifikan tersebut, UMKM masih menghadapi tantangan besar dalam hal akses permodalan. Bank Indonesia melaporkan bahwa hingga akhir 2021, kredit UMKM hanya mencapai 18,5% dari total kredit perbankan nasional.
Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara kebutuhan modal UMKM dan kemampuan sektor perbankan dalam memenuhinya. Hal ini pula yang telah menjadi kendala bagi kinerja ekspor UMKM Indonesia yang baru dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional sebesar 15,7%.
Menghadapi tantangan akses permodalan yang signifikan ini, UMKM perlu mengeksplorasi alternatif pendanaan di luar sektor perbankan. Salah satu solusi yang muncul dan semakin mendapatkan perhatian adalah pemanfaatan teknologi finansial untuk membuka akses pendanaan baru. Namun perlu dicatat bahwa alternatif sumber permodalan ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi, membatasi apalagi meniadakan peran dan fungsi sektor perbankan, melainkan bertujuan memperkaya jenis-jenis sumber permodalan yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM.
Surat Utang Sebagai Alternatif Permodalan
Keterbatasan akses terhadap kredit perbankan mendorong UMKM untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Salah satu opsi yang semakin mendapat perhatian adalah penerbitan surat utang melalui platform fintech securities crowdfunding (SCF).
Mekanisme ini memungkinkan UMKM untuk mendapatkan dana langsung dari masyarakat investor tanpa harus melalui proses perbankan yang seringkali dinilai rumit dan memakan waktu. Namun, penerbitan surat utang juga membawa risiko tersendiri bagi UMKM. Fluktuasi ekonomi, persaingan pasar yang ketat, dan ketidakpastian bisnis dapat mempengaruhi kemampuan UMKM dalam memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga kepada investor.
Risiko gagal bayar ini tidak hanya mengancam kelangsungan usaha UMKM, tetapi juga berpotensi merugikan para investor yang telah mempercayakan dananya.
Disinilah peran lembaga penjaminan kredit menjadi sangat penting. Perusahaan-perusahaan penjaminan kredit baik milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta (Jamkrindo, Jamkrida dan lan-lain), yang selama ini fokus pada penjaminan kredit perbankan, perlu memperluas cakupan layanannya untuk menjawab tantangan baru ini.
Dengan memberikan jaminan atas surat utang yang diterbitkan UMKM, lembaga penjaminan kredit dapat menjembatani kepentingan UMKM yang membutuhkan modal dan investor yang mencari peluang investasi dengan risiko yang termitigasi. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-undang No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, pasal 4 ayat (2) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2/POJK.05/2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjamin, Pasal 2 ayat (2), yang membuka peluang bagi perusahaan penjaminan untuk menjamin penerbitan surat utang.
Terlepas dari regulasi yang telah diberlakukan di atas, secara teknis perlu diidentifikasi esensi dan pertimbangan kenapa penjaminan dalam surat utang diperlukan dalam penerbitan surat utang UMKM.
Esensi Penjaminan dalam Surat Utang
Penjaminan kredit dalam penerbitan surat utang UMKM sangat diperlukan karena beberapa alasan penting. Pertama, dari aspek mitigasi risiko, penjaminan memberikan perlindungan kepada pemodal terhadap potensi gagal bayar (pokok dan bunga), sehingga meningkatkan kepercayaan pemodal untuk berinvestasi pada surat utang UMKM.
Kedua, dari sisi akses permodalan, penjaminan memungkinkan UMKM untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih rendah, karena risiko yang ditanggung pemodal berkurang.
Ketiga, dari perspektif stabilitas pasar, penjaminan dapat mencegah guncangan yang mungkin timbul akibat kegagalan pembayaran yang masif, sehingga menjaga keseimbangan ekosistem keuangan.
Keempat, dalam hal pengembangan pasar sekunder, penjaminan dapat mendorong pertumbuhan pasar surat utang UMKM dengan menarik lebih banyak penerbit dan investor.
Kelima, dari sudut pandang kebijakan ekonomi, penjaminan merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk mendukung sektor UMKM tanpa harus memberikan subsidi langsung.
Saat ini memang masih sulit membayangkan bagaimana proses penjaminan tersebut dapat diimplementasikan dalam praktik nyata. Namun melihat pengalaman di beberapa negara dapat memberikan wawasan berharga dalam mengembangkan model yang sesuai untuk konteks Indonesia.
Penjaminan Surat Utang di Beberapa Negara
Praktik penjaminan surat utang untuk UMKM sebenarnya bukanlah hal baru di kancah global. Di Amerika Serikat, misalnya, sebelum krisis keuangan 2008, sekitar 50% obligasi municipal dijamin oleh perusahaan asuransi khusus yang dikenal sebagai monoline insurers. Meskipun peran mereka telah berkurang pasca krisis, konsep penjaminan obligasi tetap relevan, terutama untuk entitas yang dianggap berisiko tinggi seperti UMKM.
Berbeda dengan AS, Jepang memiliki Credit Guarantee Corporations (CGCs) yang didukung pemerintah dan telah lama menyediakan jaminan untuk obligasi yang diterbitkan oleh UMKM. Pada tahun 2020, total jaminan yang diberikan oleh CGCs mencapai sekitar 350 miliar yen untuk obligasi UMKM. Praktik ini telah terbukti efektif dalam mendorong partisipasi investor di pasar obligasi UMKM Jepang. Sementara itu, di kawasan Eropa, European Investment Fund (EIF) memainkan peran penting dalam menyediakan jaminan untuk sekuritisasi pinjaman UMKM, termasuk obligasi yang didukung oleh pinjaman UMKM. Berdasarkan laporan tahunan EIF 2021, mereka telah mendukung lebih dari 26 miliar euro dalam pembiayaan UMKM melalui berbagai instrumen termasuk jaminan obligasi. Model yang diterapkan EIF ini menarik untuk dipelajari, mengingat cakupannya yang luas meliputi berbagai negara di eropa dengan karakteristik ekonomi yang beragam.
Di kawasan ASEAN, beberapa negara telah mulai mengembangkan praktik penjaminan surat utang untuk UMKM, meskipun dalam skala yang masih terbatas. Singapura, misalnya, melalui program SME Working Capital Loan yang dijamin oleh Enterprise Singapore, telah membuka jalan bagi UMKM untuk mengakses berbagai instrumen utang dengan dukungan pemerintah. Thailand melalui Thai Credit Guarantee Corporation (TCG) mulai menjajaki penjaminan untuk instrumen utang yang diterbitkan oleh UMKM, meskipun fokus utamanya masih pada pinjaman bank. Di Vietnam ada Vietnam Development Bank (VDB) menyediakan jaminan kredit untuk proyek-proyek pembangunan, termasuk jaminan untuk obligasi yang diterbitkan untuk membiayai proyek infrastruktur. Namun, pasar penjaminan obligasi di Vietnam masih dalam tahap perkembangan.
Filipina memiliki Philippine Guarantee Corporation (PhilGuarantee), sebuah lembaga pemerintah, menyediakan jaminan untuk berbagai jenis kredit, termasuk obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan untuk proyek infrastruktur. Sementara itu, Malaysia, mendirikan sebuah lembaga penjamin obligasi yang diberi nama Dana Jamin. Lembaga ini diinisiasi oleh korporasi Malaysia, yaitu Credit Guarantee Corporation yang merupakan lembaga keuangan yang dimiliki secara mayoritas oleh Bank Negara Malaysia dan berperan sebagai asuransi kredit.
Danajamin berperan sebagai penjamin (financial guarantor) dan berfungsi sebagai katalis untuk menstimulasi dan mendorong lebih maju lagi pasar surat utang dan sukuk di Malaysia. Hingga November 2015, Danajamin telah memiliki kemampuan untuk memberikan jaminan (guarantee facilities) hingga RM 8,069 trilyun, total nilai jaminan yang telah diberikan mencapai RM 7,418 trilyun sedangkan total nilai jaminan yang outstanding mencapai RM 5,773 trilyun.
Salah satu misi Danajamin yaitu mendorong perusahaan kecil atau perusahaan yang belum pernah mengeluarkan surat utang untuk memperoleh dana dari pasar surat utang dan sukuk.
Model Implementasi di Indonesia
Melihat contoh praktik terbaik dari berbagai negara di atas, Indonesia dapat mengadaptasi dan mengembangkan model yang dapat diimplementasikan dan disesuaikan dengan konteks lokal. Secara konseptual terdapat beberapa kriteria dan permasalahan yang perlu dibahas dalam rangkaian fokus diskusi (brain storming) yang melibatkan segenap pemangku kepentingan baik pelaku bisnis, pemerintah, pemodal dan lainnya.
Fokus diskusi pertama adalah menyangkut arsitektur regulasi, dimana OJK perlu memperkuat dan memperjelas regulasi terkait penjaminan surat utang UMKM. Ini termasuk standardisasi prosedur penilaian risiko, mekanisme penjaminan, dan proses klaim. Disamping itu, konstruk regulasi ini juga perlu dibarengi dengan stimulus dalam bentuk kebijakan ekonomi, misal pemberian insentif fiskal bagi lembaga penjamin, UMKM, investor dan lembaga keuangan penunjang lainnya yang dan berpartisipasi dalam skema penjaminan surat utang UMKM, serta didukung dengan perangkat aturan yang melibatkan Kementerian teknis terkait.
Fokus diskusi kedua, yaitu pengembangan kapasitas lembaga penjamin kredit. Perusahaan penjaminan kredit perlu meningkatkan kapasitas mereka dalam menilai dan mengelola risiko surat utang UMKM. Diperlukan pengembangan kompetensi SDM melalui pelatihan, pemagangan dan sertifikasi, kerja sama dengan jejaring bisnis penjaminan internasional, dan pengembangan sistem teknologi informasi yang handal.
Fokus diskusi ketiga, yaitu perlunya kolaborasi dan kemitraan strategis antara perusahaan penjaminan kredit dengan penyelenggara fintech SCF untuk mengintegrasikan proses penjaminan kedalam ekosistem penerbitan surat utang UMKM. Kedua entitas korporasi atau asosasi yang menaungi perlu duduk bersama merumuskan bentuk kemitraan dan peran serta dukungan satu sama lain terhadap kebutuhan UMKM penerbit dan pemodal.
Fokus diskusi keempat, dengan asumsi program penjaminan atas surat utang dan sukuk telah berjalan, diperlukan proses monitoring dan evaluasi berkelanjutan untuk memantau kinerja UMKM penerbit surat utang dan efektivitas skema penjaminan. Terlebih jika pasar sekunder surat utang dan sukuk UMKM diasumsikan telah terbentuk, sehingga likuiditas instrumen tersebut perlu dijaga.
Terakhir fokus diskusi kelima, fokus ini menyertai semua pembahasan fokus lainnya, yaitu proses edukasi dan sosialisasi penjaminan perlu dilakukan secara masif terhadap UMKM dan investor potensial tentang manfaat dan mekanisme penjaminan surat utang agar pada saatnya ketika program penjaminan terhadap surat utang dan sukuk telah berjalan sudah tidak ada lagi informasi yang asimetris atau gap literasi yang menghambat implementasi program.
Butuh Sinergi dan Kolaborasi Pemangku kepentingan
Model implementasi di atas memerlukan koordinasi yang erat antara berbagai pemangku kepentingan dalam kerangka ekosistem, termasuk regulator, lembaga penjamin, penyelenggara fintech SCF, asosiasi fintech SCF (ALUDI), asosiasi UMKM, dan komunitas investor. Penjaminan kredit terhadap surat utang yang diterbitkan UMKM bukan hanya perlu, tetapi juga mendesak untuk dilakukan di Indonesia. Langkah ini dapat menjadi katalis dalam membuka akses permodalan yang lebih luas bagi UMKM, sekaligus menawarkan perlindungan bagi investor. Proses adopsi dan adaptasi model praktik terbaik dari negara-negara lain dapat mengembangkan ekosistem pendanaan UMKM Indonesia yang lebih inklusif, inovatif, dan berkelanjutan.
Pemerintah, melalui OJK dan Kementerian terkait, diharapkan segera menyusun roadmap pengembangan skema penjaminan surat utang UMKM. Roadmap ini harus mencakup aspek regulasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kapasitas lembaga penjamin, dan strategi edukasi pasar. Selain itu, perlu dibentuk tim kerja khusus yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mengawal implementasi roadmap tersebut. Diharapkan Indonesia dapat membuka babak baru dalam pembiayaan UMKM, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan pada akhirnya memperkuat posisi UMKM Indonesia sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Dede Suryanto
Ketua Digital Financial Center, Vokasi Universitas Indonesia