
Gedung Jiwasraya
Presiden Joko Widodo baru-baru ini telah memberi “warning” cukup keras kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menuntaskan berbagai kemelut dan carut marut penyelesaian kasus gagal bayar di beberapa perusahaan asuransi besar, seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera 1912, Asabri dan beberapa lainnya.
Setidaknya, ada 11 perusahaan asuransi kini tengah dalam pengawasan ketat pemerintah, terkait dengan solvabilitas keuangan perusahaan. Selain tingkat penetrasi pasar yang relatif rendah di antara negara-negara ASEAN, industri asuransi di Indonesia kini tengah menghadapi krisis kepercayaan cukup serius dari masyarakat.
Kasus-kasus besar yang bermuatan tipikor (tindak pidana korupsi) mendominasi beberapa perusahaan asuransi besar, seperti asuransi Jiwasraya dan ASABRI, serta kasus-kasus lain akibat mismanagemen perusahaan sehingga berujung pada buruknya penyelesaian klaim atau gagal bayar. Persoalan terbesar perusahaan asuransi berkutat pada masalah solvabilitas perusahaan, yang sudah tidak memenuhi ketentuan lagi.
Dari waktu ke waktu, persoalan klise selalu muncul, sehingga cepat atau lambat berdampak besar pada kredibilitas. Asuransi adalah bisnis jasa yang sangat berbeda karakternya dibandingkan dengan industri produk kasat mata seperti pada industri manufaktur. Asuransi sebagai industri jasa (services) lebih mengandalkan pada Trust publik (kepercayaan) karena sifatnya yang intangible, yang mengandalkan pada kepuasan layanan.
Kualitas perusahaan asuransi disebut prima manakala ia mampu menyelesaikan berbagai persoalan klaim yang menjadi tanggungjawab hukumnya. Layanan klaim buruk yang berulang kali terjadi harus menjadi catatan penting bagi para pelaku usaha asuransi, khususnya perusahaan asuransi. Bahwasanya prinsip-prinsip asuransi, salah satunya adalah itikad baik (Utmost Good Faith), semestinya diberlakukan secara adil bagi semua pihak, tak hanya kepada nasabah/ client/tertanggung, namun juga kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung risiko.
Ketika polis asuransi telah diterbitkan, maka secara moral maupun hukum kedua belah pihak, yakni Penanggung dan Tertanggung, saling terikat kuat untuk mengimplementasikan prinsip “Utmost good faith” secara adil dan berimbang.
PRINSIP NIAT BAIK
Mis-persepsi maupun mis-interpretasi pemegang polis terhadap isi polis yang diperjanjikan oleh perusahaan asuransi, acapkali menjadi pangkal perselisihan yang berujung pada gugatan. Dalam banyak kasus, timbul kesenjangan, atau bahkan perbedaan persepsi, antara pemegang polis dan perusahaan asuransi penerbit polis.
Berbagai hal yang diperjanjikan oleh perusahaan asuransi dan dituangkan dalam polis berikut klausul- klausulnya, sepenuhnya dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi, dengan menggunakan bahasa-bahasa hukum yang sulit dipahami pemegang polis atau Tertanggung. Oleh sebab itu, perusahaan asuransi melalui representatifnya, yakni bagian pemasar atau agen asuransi, memiliki kewajiban untuk menjelaskan isi polis secara gamblang dan transparan, terutama yang terkait dengan risiko-risiko yang tidak dijamin oleh perusahaan asuransi. Di sinilah letak urgensi adanya transparansi informasi antara kedua belah pihak.
Prinsip itikad baik atau Utmost Good Faith dalam berasuransi harus berlaku bagi semua pihak para pemangku kepentingan asuransi, termasuk di dalamnya pemerintah sebagai pengawas perusahaan asuransi. Harus ada kesetaraan kepentingan dari semua pihak yang terlibat dalam industri ini.
Berlarut-larutnya penyelesaian klaim ganti rugi asuransi, baik yang berskala kecil maupun besar, semakin menambah runyam persoalan sehingga mencoreng citra baik perusahaan. Terkatung-katungnya nasib para nasabah asuransi ketika menuntut haknya, membuat industri asuransi seperti pesakitan, menjadi bulan-bulanan kritik masyarakat di berbagai media, terutama media sosial.
Mewujudkan industri asuransi yang sehat dan akuntabel, tentu saja bukan semata tugas regulator sebagai pengendali dan pengawas, namun juga oleh para pelaku-pelaku aktif di industri ini. Sudah seabad lebih usia industri asuransi di Indonesia, namun kekecewaan nasabah perusahaan asuransi masih sering terjadi.
Ada tiga hal penting yang harus dipenuhi untuk tercapainya kesehatan sebuah perusahaan asuransi. Selain kesehatan keuangan perusahaan (yang diatur dan diawasi oleh regulator cq. Otoritas Jasa Keuangan), dua hal penting lain yang harus dikedepankan adalah konsistensi penerapan prinsip-prinsip asuransi secara benar dan kapabilitas sumber daya manusia perusahaan asuransi.
Klaim yang berlarut-larut yangtak jelas penyelesaiannya, mengindikasikan ada korelasi kuat antara peran efektif regulator sebagai pengawas dan kemampuan sumber daya manusia di industri terkait, serta belum diterapkannya prinsip Utmost Good Faith secara benar dan berkeadilan.
MEMBENAHI DIRI
Reward maupun Punishment terhadap sebuah kegiatan usaha bakal hadir dengan sendirinya apabila masyarakat memperoleh atau merasakan manfaat (kepuasan) atas produk yang dibelinya. Sebagai jenis usaha jasa, “Trust” bagi industri asuransi harus diterjemahkan dalam bentuk transparansi, itikad baik, dan akuntabilitas.
Pembinaan, apalagi pengawasan terhadap industri ini sangat penting mengingat bahwa dalam banyak kasus, ketidakpuasan masyarakat selalu bermula dari lemahnya aspek transparansi dan komunikasi. Pembinaan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia industri asuransi sangat mendesak untuk segera dilakukan.
Keberhasilan pembinaan sumber daya manusia tak sekedar berbicara tentang angka-angka capaian produksi premi (kuantitatif), namun juga pada aspek mutu atau kualitas layanan dari sumber daya manusia yang terlibat (kualitatif). Jumlah pemasar asuransi yang konon telah mencapai ratusan ribu orang, tak ada artinya ketika sebuah klaim asuransi tidak mampu diselesaikan dengan baik dan memuaskan para nasabahnya.
Slogan “Mari Berasuransi” tidak memberi dampak positif, untuk mengajak masyarakat sadar berasuransi, ketika klaim demi klaim yang diajukan oleh para nasabah asuransi tidak memperoleh penanganan serta penyelesaian semestinya, bahkan justru memunculkan kekecewaan. Penetrasi pasar asuransi Indonesia yang diharapkan semakin meningkat, bakal sulit dicapai atau bahkan stagnan, apabila kekecewaan demi kekecewaan terus terjadi akibat layanan klaim yang tidak semakin membaik.
Penetrasi pasar asuransi yang diharapkan mencapai lebih dari 5 persen dalam beberapa tahun ke depan, harus dibarengi pula dengan upaya pembenahan sumber daya manusia dari para pelaku secara konsisten dan berkesinambungan.
Keberhasilan capaian perusahaan asuransi tak hanya diukur dari angka-angka premi yang spektakuler, tanpa dimbangi dengan perfoma perusahaan dalam memberikan layanan “service after sales“, yakni memberi kepuasan ganti rugi kepada pemegang polis. Asuransi adalah industri jasa, dan ini akan menjadi bumerang apabila apa yang telah diperjanjikan dalam polis tidak dipenuhi secara bertanggungjawab. Dalam kiprah industri keuangan di negeri ini, usaha asuransi belum memberi kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional, dibanding dengan industri keuangan lainnya.
Dengan demikian menjadi PR besar bagi para pelaku di industri ini untuk secepatnya berbenah, memacu gerak langkah agar industri asuransi bisa sejajar dengan sektor jasa keuangan lainnya, seperti perbankan, pasar modal dan yang lain-lainnya.
Salam,
Budi Sartono Soetiardjo
Pemerhati Publik & Asuransi