Konflik internal yang belakangan merebak di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menimbulkan keprihatinan mendalam, khususnya di kalangan generasi muda Nahdliyyin. Ketegangan antara Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang kemudian merembet menjadi polarisasi di tubuh para pengurus, bukan hanya menciptakan kegaduhan, tetapi juga melukai marwah organisasi yang diwariskan oleh para masyayikh pendiri NU.
Bagi para kader muda, dinamika yang terjadi belakangan telah menimbulkan kecemasan tersendiri. NU bagi mereka bukan sekadar organisasi — NU adalah rumah besar tempat mereka belajar adab, keberagamaan, dan nilai kebangsaan. Ketika rumah ini retak oleh perbedaan dan ego yang tidak terkendali, maka kegelisahan itu menjadi sangat wajar.
Ekspektasi Akhlak, Bukan Konflik Kekuasaan
PBNU adalah lembaga yang memikul amanah moral dan spiritual yang besar. Ketika konflik internal justru dipertontonkan kepada publik, generasi muda NU merasa ada sesuatu yang tercerabut dari nilai dasar organisasi: akhlakul karimah, tawadhu’, dan musyawarah.
Fitnah, saling curiga, dan narasi yang mempertajam perbedaan seakan menjadi wajah baru NU yang hadir di ruang publik. Padahal para pendiri NU mengajarkan sebaliknya — bahwa menjaga persatuan umat dan keutuhan organisasi adalah kewajiban yang harus berada di atas kepentingan pribadi maupun kelompok.
Hal inilah yang membuat keprihatinan itu begitu dalam. Bukan karena perbedaan pendapatnya, tetapi karena hilangnya nilai-nilai yang seharusnya menjadi teladan para pemimpin NU bagi seluruh jamaah.
Kerinduan Akan Islah dan Persatuan
Di tengah kondisi tersebut, generasi muda menyimpan harapan kuat agar para pemimpin PBNU kembali duduk bersama dan melakukan islah. Mereka merindukan momen ketika Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dapat bersalaman, berpelukan, dan memastikan bahwa kepentingan jam’iyah lebih utama daripada kepentingan apa pun.
Kerinduan ini bukan sekadar romantisme, tetapi kebutuhan demi menjaga keberlanjutan organisasi. Banyak kader muda yang bahkan membayangkan bagaimana indahnya jika para petinggi PBNU kembali bersatu: halaman kantor PBNU dipenuhi kebahagiaan para kader badan otonom, simpatisan, dan warga Nahdliyyin; masyarakat luas menyambut dengan lega; dan para masyayikh seakan memberi restu dari kejauhan.
Namun hingga kini, gambaran ideal tersebut masih sebatas harapan — sebuah mimpi yang dirasakan begitu nyata, tetapi belum terwujud dalam kenyataan.
Saatnya PBNU Menyudahi Pertikaian
Generasi muda NU menginginkan satu hal yang sederhana namun sangat prinsip:
PBNU harus kembali menjadi teladan, bukan arena konflik.
Ketegangan berkepanjangan bukan hanya merusak citra organisasi, tetapi juga menghambat pengabdian NU bagi umat, bangsa, dan negara. Di tengah tantangan sosial, keagamaan, dan kebangsaan yang semakin kompleks, NU tidak boleh disibukkan oleh pertarungan internal yang seharusnya dapat diselesaikan melalui musyawarah.
Persatuan bukan sekadar keinginan emosional, melainkan syarat mutlak bagi NU untuk tetap menjadi pilar civil society terbesar di Indonesia. Keutuhan jam’iyah adalah kekuatan utama NU, dan itu hanya dapat dijaga jika para pemimpin memberi contoh nyata dalam merawat harmoni.
Harapan Terakhir dari Generasi Penerus
Generasi muda Nahdliyyin berharap para pemimpin PBNU berkenan membuka hati, menurunkan ego, dan kembali pada nilai dasar organisasi. Mereka yakin, islah bukan hanya mungkin — islah adalah keniscayaan bagi NU untuk melangkah ke depan.
Harapan itu disertai doa yang terus dipanjatkan, agar mimpi tentang persatuan PBNU segera menjadi kenyataan. Sebab bangsa ini membutuhkan NU yang stabil, teduh, dan solid dalam menjalankan amanah perjuangannya.
Warga Nahdliyyin, khususnya generasi penerusnya, menunggu saat itu tiba.
Pena Kader NU Kampung
Imam Subali
