
Jernihkan Pikiran, Tenangkan Rumah, Kembalilah ke Titah Ilahi.
Artikel ini tidak ditulis untuk menyalahkan siapa pun, melainkan sebagai renungan dan cermin bersama. Kiranya di tengah badai hidup dan rezeki yang tertunda, kita tidak ikut gagal paham dalam menghadapi ujian kehidupan.
Karier bisa terhenti. Usaha bisa gagal.
Tapi jangan sampai kita gagal menjadi insan yang sabar dan ikhlas, orang tua yang menguatkan, dan keluarga yang menghidupkan suasana kondusif.
Ujian Dunia, Jangan Hancurkan Rumah
Di tengah gelombang PHK, bisnis lesu, dan tekanan finansial, banyak keluarga mengalami guncangan.
Tabungan menipis, harapan kabur, dan perjuangan panjang terasa tak berarti.
Ikhtiar telah dilakukan, dari proposal ke pelatihan, dari iklan ke utang, namun rezeki seolah tersumbat.
Bukan karena kurang usaha.
Tapi mungkin karena ridha dan izin Allah belum tiba.
Yang lebih memprihatinkan, rumah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan tenang, justru berubah menjadi ruang yang tegang, sunyi, kehilangan canda dan makna.
Komunikasi renggang, suasana mengering, dan iman mulai luruh.
Jernihkan Hati, Lapangkan Pikiran
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9–10)
Makna:
Kesuksesan sejati tidak diawali dari harta atau koneksi, tetapi dari jiwa yang jernih dan pikiran yang bening.
Ketika hati kita bersih, kita mampu menerima takdir, menenangkan rumah, dan tetap menghidupkan harapan.
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ • إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu’ara: 88–89)
Keteladanan Rasulullah SAW: Rumah sebagai Ruang Kasih, Bukan Luapan Amarah
Rasulullah SAW menghadapi ujian yang jauh lebih berat. Namun beliau tidak membawa kegundahannya ke dalam rumah.
Sebaliknya, rumah beliau adalah tempat yang paling lembut, paling lapang, dan paling teduh.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)
Ketika Hasan dan Husain menaiki punggung beliau saat shalat, beliau tidak memarahi.
Beliau memanjangkan sujud, agar mereka merasa aman dan tidak jatuh.
Karena rumah dan keluarga bukan tempat melampiaskan letih dunia, melainkan tempat menghidupkan suasana, akhlak, dan sabar yang tulus.
Banyak Rumah Rusak karena Selera, Bukan karena Takdir
Zaman ini melatih kita jadi pribadi instan:
cepat ingin sukses, cepat bosan, dan terlalu tunduk pada “hak pribadi” tanpa batas.
Lalu lahirlah kalimat-kalimat seperti:
“Aku berhak bahagia dengan caraku.”
“Aku ingin bebas mengekspresikan diri.”
Sayangnya, kebebasan yang tidak dibimbing oleh iman hanya akan melahirkan kehancuran yang dibungkus dengan dalih kejujuran.
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَٱللَّهُ ٱلْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
“Maka kesabaran yang baik itulah yang aku pilih. Dan hanya kepada Allah aku memohon pertolongan atas apa yang kalian ceritakan.”
(QS. Yusuf: 18)
Mulailah dari Satu Kebaikan Kecil di Rumah
Kita tak butuh hal spektakuler untuk mulai memperbaiki.
Cukup dari hal sederhana:
- Senyuman hangat di pagi hari
- Menyapa anak dengan lembut walau hati sedang penat
- Mengucap “maaf” dan “terima kasih” dengan tulus
- Mendengarkan, bukan menyalahkan.
“Jika karier terhenti dan usaha belum berhasil, jangan biarkan rumah pun ikut runtuh. Jangan gagal menjadi pasangan yang sabar hanya karena gagal di dunia.”
Karena saat dunia terasa sempit, justru rumah dan hati harus diperluas.
Dan hanya rumah yang dibangun dengan kesabaran, keikhlasan, dan iman, yang mampu menahan badai zaman.
إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 6)
Ajakan untuk Bangkit: Jangan Menunggu Takdir, Perbaiki Diri.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Jangan menunggu nasib berubah.
Mulailah mengubah sikap, tutur kata, dan cara menyayangi keluarga.
Sebab mungkin bukan rezeki yang belum datang,
tapi kita yang belum siap menyambutnya dengan hati yang bersih dan rumah yang kuat.
Rumah Adalah Pondasi Bangkitnya Harapan
Jika gagal dalam karier dan usaha, itu belum akhir.
Tapi jika gagal menjaga keluarga, maka kita kehilangan poros utama keberkahan hidup.
Maka pulanglah.
Pulang ke hati.
Pulang ke sabar.
Pulang ke Allah.
Sebab dari rumah yang sabar dan ikhlas,
rezeki yang tertunda akan menemukan jalannya,
dan doa-doa yang diam akan dijawab dengan cara paling berkah.
Fastabiqul khairat
Berlomba lombalah dalam kebaikan.
Wallahu A’lam bishawab
Hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui Kebenaran Sesungguhnya.
Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Diding S. Anwar